Lihat ke Halaman Asli

Satrio Wahono

magister filsafat dan pencinta komik

Merefefleksikan Kembali Perjalanan Demokrasi Kita

Diperbarui: 23 Januari 2025   18:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar demonstrasi Mei 1998 yang melahirkan era Reformasi (sumber: tempo.co)

Demokrasi dalam alam pikir masyarakat Indonesia adalah semacam mitos Ratu Adil. Sesudah lama tersekap kepemimpinan otoriter rezim Orde Baru, orang beranggapan demokrasi akan membereskan seluruh masalah negeri ini. Nyatanya, setelah hampir 27 tahun menginjak era Reformasi, perjalanan demokrasi kita masih belum membawa perbaikan signifikan. Bahkan sebaliknya, kita justru melihat setumpuk masalah yang kian kronis, seperti korupsi yang semakin merajalela, tingkat kesenjangan pendapatan yang masih tajam, kuasa oligarki modal yang kian menjadi-jadi, dan sebagainya. 

Parahnya lagi, salah satu pilar terpenting demokrasi, yaitu partai politik, malah menjadi episentrum alih-alih pemecah masalah. Korupsi di tingkat partai, dan badan legislatif yang terdiri dari perwakilan partai, begitu sering terjadi. Sudah jadi rahasia umum pula bahwa demokrasi berbiaya tinggi kerap dinisbatkan pada ulah partai-partai yang jamak meminta "mahar" tinggi untuk pencalonan. Belum lagi ulah partai politik yang sering memainkan isu-isu politik panas hanya demi tawar-menawar posisi. Akibatnya, sindrom tidak percaya partai alias deparpolisasi mulai merambat masuk ke dalam hati banyak warga. Wajar jika orang bertanya: benar-benar cocokkah demokrasi yang kita jalankan sekarang dengan kebudayaan kita? 

Belajar dari sejarah

Kita tentu tahu pemeo, "Demokrasi memang tidak sempurna, tapi dia tetap sistem terbaik dari sistem-sistem yang ada." Artinya, demokrasi seolah-olah menjadi "agama" karena jika terjadi masalah dalam demokrasi, yang disalahkan adalah proses dan aktor-aktor demokrasinya, bukan demokrasi itu sendiri. Atau, kalau meminjam istilah I. Wibowo dalam Negara Bandit dan Demokrasi (Penerbit Kompas, 2010), kita kerap menyalahkan waktu dengan berkata 'demokrasi kita masih muda, beri dia waktu untuk matang.'

Padahal, sejarah bangsa kita menunjukkan betapa demokrasi liberal yang sempat kita jalankan pada Orde Lama ternyata memajan kita dengan masalah sama seperti yang kita hadapi sekarang ini.

Misalnya saja, Bung Karno pernah begitu jengkel dengan ulah partai-partai hingga dia ingin membubarkan partai politik. Dalam pidatonya, "Marilah Kita Kubur Partai-Partai" (1956), Soekarno mengungkapkan kegeramannya betapa partai-partai saling menyikut satu sama lain sehingga Indonesia dilanda penyakit kepartaian yang bobrok, menghasilkan ketidakstabilan dan kemerosotan akhlak negara. 

Bung Hatta pun juga jengkel melihat para politisi mempraktikkan "ultra demokrasi" ("Demokrasi Kita", Panji Masyarakat, 1960) yang cuma menghasilkan jatuh-bangunnya berbagai kabinet dalam hitungan bulan. Hanya saja, kedua tokoh ini bersilang jalan soal cara mengatasi masalah partai politik tersebut. Apabila Soekarno menggagas Demokrasi Terpimpin sebagai solusi, Hatta sekadar mengusulkan pembenahan partai itu sendiri. Solusi pertama telah terbukti gagal dalam sejarah, sementara solusi kedua sudah kita coba selama 27 tahun ini dan, lagi-lagi, belum juga membuahkan hasil menggembirakan.  

Mana Lebih Baik? 

Maka itu, bukankah sekarang saat yang tepat bagi kita untuk merenungkan kembali solusi "Hattaian" yang mengedepankan pembenahan alias "reformasi" dan mengkaji secara lebih jernih lagi solusi "Soekarnoian" yang mengutamakan pentingnya pemimpin kuat dan baik hati seperti philosopher-king Plato? Sebab, jangan-jangan solusi terakhir tersebut memang lebih cocok dengan kultur kita, hanya saja pelaksanaannya oleh Soekarno waktu itu tidak berjalan dengan baik. Bahkan, setidaknya ada dua pemikir kaliber yang memberikan alasan logis bagi solusi "Soekarnoian" tersebut.

Pertama, Ismail Suny dalam disertasinya Pergeseran Kekuasaan Eksekutif (1963) mengungkapkan kejengahannya terhadap ketidakstabilan politik akibat pelaksanaan Demokrasi Parlementer. Sehingga, Suny kemudian berpendapat demokrasi liberal telah gagal karena tidak cocok dengan kultur Indonesia.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline