Donald Trump dilantik kembali menjadi presiden Amerika Serikat (AS) ke-47 pada 20 Januari 2025 lalu. Dia tercatat sebagai presiden AS kedua yang menjabat dua masa jabatan tapi tidak berturut-turut. Presiden sebelumnya adalah Grover Cleveland yang merupakan presiden AS ke-23 dan ke-25.
Baru saja di hari pertama pelantikannya, Trump sudah menandatangani sejumlah kebijakan eksekutif (executive order) yang kontroversial, seperti menghentikan bantuan luar negeri AS, mengeluarkan AS dari WHO, menghilangkan hak kewarganegaraan lahir (ius soli) bagi anak keturunan imigran, dan sejumlah lainnya.
Watak slebor (erratic) dari Presiden AS ke-45 dan ke-47 ini tentu mengundang pertanyaan banyak kalangan: mengapa bisa Trump terpilih kembali? Apalagi mengingat Trump juga terpilih dengan status sudah menyandang status terpidana dari sejumlah kasus kriminal. Jadi, inilah kali pertama AS memiliki presiden yang seorang narapidana.
Memang, sudah banyak tulisan yang menjelaskan kemenangan Trump. Namun, kebanyakan menjelaskan dari alasan struktural bahwa masyarakat AS secara struktur menderita keterpurukan ekonomi di tangan kepemimpinan Presiden AS ke-46, Joe Biden. Atau, ada yang menganalisa dari segi psikologi politik bahwa masyarakat AS di lubuk hati mereka membutuhkan kepemimpinan yang lebih berani dan menonjolkan kedigdayaan AS di mata dunia, sebagaimana sering didengungkan oleh Trump lewat slogan "Let's Make America Great Again" (Mari Kita Jadikan AS Hebat Kembali)
Adapun analisa singkat ini ingin menjelaskan kemenangan Trump yang kedua kali dari segi budaya politik yang jarang diangkat. Apa itu? Analisa bahwa kultur politik AS tampaknya masih mengandung benih sexism dan misogynis alias menomorduakan kapasitas perempuan sebagai pemimpin. Sebelumnya, ada slogan kultural di politik AS bahwa seorang presiden haruslah WASP (white, anglo-saxon, protestant). Sebenarnya, harus ditambahkan huruf M, yaitu Male alias Laki-Laki. Mitos white anglo saxon sebenarnya sudah dipatahkan oleh kemenangan Barrack Obama menjadi Presiden AS ke-43. Sementara mitos protestant telah didobrak oleh Presiden John F. Kennedy yang berasal dari agama Roma Katolik. Hanya mitos presiden harus laki-laki saja yang belum terpatahkan. Partai Demokrat baru dalam taraf upaya mendobrak mitos itu dengan menjadikan Kamala Harris sebagai wakil presiden AS perempuan pertama, mendampingi Presiden Joe Biden.
Bukti dari ketidaksiapan masyarakat AS menerima presiden perempuan sederhana saja. Trump memenangi pemilihan presiden sebanyak dua kali ketika sama-sama melawan kandidat wanita, yaitu Hillary Clinton pada 2015 dan Kamala Harris pada 2024. Adapun ketika melawan calon presiden laki-laki, yaitu Joe Biden, Trump harus menelan kekalahan.
Memang bisa saja ada bantahan bahwa Hillary Clinton kalah dari Trump karena skandal menggunakan saluran email pribadi untuk urusan publik atau karena kebijakannya semasa menjabat Menteri Luar Negeri. Tapi, semua itu tentu jauh lebih ringan ketimbang status terpidana yang disandang Trump ketika menjadi calon presiden. Lantas, mengapa Trump tetap menang di kontestasinya melawan Kamala Harris? Iya karena kultur politik sexism itu salah satunya.
Sebagai bukti penguat, jika kita mau melangkah mundur lebih jauh, Hillary Clinton juga mengalami kekalahan ketika dalam primary Partai Demokrat pada 2007 harus mengakui kekalahan dari seorang senator muda berkulit hitam, Barrack Obama. Lagi-lagi, ini bisa jadi bukti bahwa AS memang belum siap menerima presiden perempuan.
Bisa juga ada bantahan lagi bahwa budaya politik AS tidak mungkin menganut sexism mengingat sudah banyak politisi wanita di AS. Bahkan, jumlah politisi perempuan di Kongres mencapai sepertiga dari total anggota dan ada 12 gubernur negara bagian yang berjenis kelamin perempuan. Namun, ceritanya akan lain jika berkaitan dengan jabatan Presiden sebagai jabatan individual dengan kekuasaan tertinggi di sistem presidensial AS. Budaya politik AS belum bisa menerima jabatan tertinggi itu dipegang oleh seorang perempuan.
Jika kita berkaca pada Indonesia, kita bisa mengatakan bahwa Indonesia justru lebih demokratis dibandingkan AS. Sebab, kita pernah memiliki seorang presiden perempuan, yaitu Megawati Sukarnoputri.