Lihat ke Halaman Asli

Satrio Wahono

magister filsafat dan pencinta komik

Potensi Tenaga Nuklir Mengatasi Polusi

Diperbarui: 23 Januari 2025   07:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Reaktor nuklir pertama di Indonesia, yaitu di Bandung(Sumber: tekno.tempo.co)

Akhir-akhir ini, salah satu berita utama memprihatinkan bagi masyarakat Indonesia adalah polusi udara yang kian buruk.  Bahkan Indonesia, bersama dengan China, India, Pakistan, Bangladesh, dan Nigeria menyumbang 75% dari total beban polusi udara global karena tingkat polusi udara yang tinggi dan jumlah populasi yang besar (bbc.c0m, 29/8/2023). 

Hal ini menimbulkan ancaman bagi keselamatan jiwa masyarakat. Pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Agus Dwi Susanto SpP(K) pada 11 Februari 2023 mengingatkan bahwa polusi udara yang kian parah saat
ini bisa memicu berbagai penyakit paru, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), tuberculosis (TBC), asma, dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).  

Potensi persebaran penyakit akibat polusi tentu membahayakan perekonomian negara akibat peningkatan anggaran pengeluaran kesehatan. Sebagai contoh, data BPJS Kesehatan menunjukkan selama periode 2018-2022, anggaran yang ditanggung untuk penyakit pernapasan mencapai angka signifikan dan memiliki kecenderungan peningkatan tiap tahunnya. Pneumonia alias radang paru menelan biaya sebesar Rp8,7 triliun, tuberkulosis Rp5,2 triliun, PPOK Rp1,8 triliun, asma Rp1,4 triliun, dan kanker paru Rp766 miliar. Angka-angka ini tentu akan bertambah sejajar dengan penurunan kualitas udara akibat perburukan polusi.

Karena itu, masalah polusi ini adalah ancaman nyata bagi ketahanan nasional jika dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi mendasar. Mengingat salah satu faktor penyebab polusi yang kian masif adalah tingginya emisi karbon dioksida dari aktivitas industri maupun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara, maka satu langkah paradigmatis untuk
mengurangi (mitigasi) polusi adalah mencari sumber energi alternatif berupa energi baru terbarukan (EBT).

Itulah sebabnya dunia saat ini gencar mengkampanyekan pemanfaatan EBT. Hanya sayangnya, banyak potensi EBT ternyata mengandung sejumlah masalah serius. Misalnya saja, merujuk Donny Yusgiantoro dalam Kebijakan Energi Lingkungan (LP3ES, 2017), kegiatan pengembangan panas bumi (geothermal) justru berpotensi mengubah kontur permukaan tanah dan dapat menyebabkan terjadinya tanah longsor. Selain itu, proses produksi listrik dari panas bumi dapat mengandung berbagai senyawa beracun yang bisa merusak rantai makanan.

Contoh lain, proses konversi energi biomassa menjadi bahan bakar, baik melalui proses pembakaran maupun biokimiawi bisa berdampak pada keanekaragaman hayati, air, udara, dan tanah serta memicu deforestasi yang berkibat pada erosi tanah maupun risiko banjir. Kemudian, pengoperasian fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) justru didapati sama-sama mengemisi karbon dioksida yang mencemari udara.

Artinya, alih-alih mengurangi polusi dengan cara mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, pengembangan EBT yang tidak tepat malah bisa memperparah polusi dan menimbulkan masalah lingkungan lain yang tak kalah serius.

Akselerasi Nuklir

Namun, di tengah berbagai potensi masalah di atas, ada satu sumber EBT yang disepakati oleh mayoritas pakar energi sebagai minim risiko, yaitu tenaga nuklir. Payung hukumnya di Indonesia pun sudah tersedia. Peraturan Presiden (Perpres) No.79 Tahun 2014 menggolongkan nuklir sebagai salah satu EBT yang akan digunakan sebagai pembangkit listrik. Pemerintah pun mencanangkan upaya untuk mendorong pengembangan teknologi pembangkit listrik berbasis EBT, termasuk nuklir, guna mencapai target emisi nol karbon (Net Zero Emission) pada 2060. 

Oleh karena itu, melihat ancaman polusi yang kian parah saat ini, pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) sebenarnya perlu diakselerasi alias dipercepat dari target sekarang yang direncanakan akan bermula pada 2045. Hambatan-hambatan psikologis masyarakat yang berpotensi memicu resistensi terhadap pembangunan PLTN perlu direspons sedari sekarang. Setidaknya ada satu alasan utama yang memicu resistensi masyarakat, terutama masyarakat sekitar lokasi pembangunan PLTN. Yaitu, masyarakat memiliki kekhawatiran akan kebocoran reaktor nuklir yang tentunya akan membahayakan keselamatan nyawa mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline