Suatu negara dan masyarakat, termasuk Indonesia, perlu mewujudkan kedaulatan ekonomi yang tangguh. Memang itu mungkin sulit di tengah masyarakat global yang saling tergantung (interdependent) dan tatkala dominasi kapitalisme neoliberal membuat modal (capital) tak lagi mengenal batas-batas negara. Akan tetapi, kedaulatan ekonomi tetap patut diperjuangkan hingga taraf tertentu supaya satu bangsa bisa benar-benar bermartabat dan berdaulat.
Keseimbangan
Dalam konteks ini, ada tiga upaya yang setidaknya bisa ditempuh Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan finansial dan ekonomi. Pertama, mencari keseimbangan antara otonomi dan kesejahteraan. Otonomi adalah saripati kapitalisme, sementara kesejahteraan adalah sokoguru sosialisme. Keseimbangan ini akan memungkinkan manusia mengembangkan ikhtiar dan potensi kreatif yang dimilikinya, sementara aspek tanggung jawab sosial bagi kepentingan kolektivitas atau sesama warga pun tak terlupakan. Artinya, negara menerapkan prinsip kompetisi dan mekanisme pasar dalam menata perekonomian swasta, tapi tetap memperhatikan kaum marginal dengan menggelontorkan berbagai subsidi dan insentif tepat sasaran bagi rakyat, seperti subsidi iuran BPJS Kesehatan, optimalisasi program pra-kerja, subsidi energi, dan lain sebagainya.
Kedua, mengembangkan mentalitas kerja keras dan frugalitas (frugality, berhemat). Mentalitas ini adalah resep ampuh di balik kesuksesan Amerika Serikat (AS) mampu bertiwikrama dari bekas negara jajahan Inggris yang tercabik-cabik oleh perang saudara hingga menjadi satu negara adidaya. Penemuan mentalitas ini bisa dilacak hingga pada nama presiden AS paling legendaris, Abraham Lincoln. Menurut Lincoln, sebuah sistem yang menjanjikan kemakmuran adalah sistem di mana "seseorang berkantung tipis bekerja mencari upah untuk beberapa waktu, mencari laba untuk membeli alat atau tanah untuk dirinya sendiri, bekerja lagi untuk beberapa waktu, dan kemudian mempekerjakan orang miskin lain untuk membantu dirinya." Artinya, resep kesuksesan itu sederhana saja. Yaitu, bekerja keras, menabung, membeli aset produktif, dan menciptakan lapangan kerja bagi sebanyak mungkin orang.
Syarat tambahan bagi solusi kedua ini adalah dukungan dari sebuah sistem meritokrasi di mana setiap warga negara mendapatkan kesempatan setara untuk maju berdasarkan merit atau prestasinya.
Nah, AS tampaknya melupakan ajaran Lincoln ini hingga berulang kali terjerembab ke dalam krisis utang. Sebagaimana disinyalir artikel Time, "Not So Frugal" (14 Maret 2011), rakyat Amerika sudah demikian ketagihan utang dan melupakan pentingnya berhemat, apalagi bekerja dan menabung. Mereka justru tetap berbelanja secara berlebihan (overspending) dibandingkan penghasilan mereka. Tak heran bila AS berulangkali terjerat kesulitan keuangan dan hanya status adidayanya saja yang masih menolong citra AS di bidang ekonomi. Jadi, jika Indonesia lalai mencamkan pelajaran dari Lincoln, niscaya kita bisa jadi akan masuk juga menjadi bangsa pengutang.
Ketiga, mengembangkan budaya kewirausahaan (entrepreneurship) dan inovasi (innovation). Kewirausahaan seyogianya jangan dipandang hanya sebagai monopoli kaum pengusaha atau wiraniaga yang bergerak di luar jalur karier karyawan. Melainkan, juga bisa dilakukan oleh karyawan di dalam perusahaan. Inilah yang dalam teori manajemen akrab disebut intrapreneur. Yaitu, seorang karyawan di dalam suatu perusahaan berinovasi mendirikan satu usaha di dalam organisasinya sendiri. Sebagai contoh: seorang pegawai yang punya ide cemerlang menghasilkan produk atau divisi baru dalam perusahaannya tentu saja bisa digolongkan sebagai intrapreneur.
Berbekal ketiga upaya di atas, semoga bangsa kita di tengah demikian banyak permasalahan eksternal maupun internal mampu mewujudkan kedaulatan ekonomi yang akan menjadikan Indonesia suatu bangsa yang berwibawa di peta dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H