Tahun 2025 ini kita memasuki 27 tahun perjalanan reformasi politik dalam membangun negara demokrasi sejak 1998. Memang banyak kemajuan telah dicapai, tapi banyak catatan muram juga yang perlu diperhatikan. Karena itu, sebuah renungan tentang perjalanan demokrasi kita menjadi niscaya.
Diteropong dengan teori politik kontemporer, kita sebenarnya telah sukses di tataran membangun institusi (institutional building) sebagaimana dianjurkan teori neo-institusionalisme. Merujuk Muhammad Aqil Irham (Demokrasi Muka Dua, KPG, 2016), teori neo-institusionalisme meyakini berfungsinya lembaga politik demokratis yang ada bisa menjamin perubahan sosial dalam masyarakat.
Sayangnya, teori ini tidak memperhitungkan siapa dan bagaimana para aktor politik berkontestasi di arena politik.
Kelemahan teori neo-institusionalisme ini lantas ditambal teori relasi kuasa. Bagi teori ini, fokus terpenting adalah menelisik relasi kuasa para aktor politik yang bermain di panggung depan demokrasi. Relasi kuasa kemudian diibaratkan sebagai panggung belakang demokrasi atau demokrasi di balik layar. Selama ini, relasi kuasa itulah yang justru berkualitas buruk. Pemerintah demi pemerintah
berganti, tapi benang merahnya sama saja: tersandera jejaring kepentingan kuasa politik oligarki modal hingga sulit melakukan kerja-kerja terobosan. Atau, para pejabat publik yang berintegritas justru dijegal dengan beraneka taktik politik. Artinya, institusi politik demokratis yang bagus tidak diiringi dengan mental manusia yang sama bagusnya. Ibarat kata, hardware komputer demokrasi kita sudah canggih, tapi kualitas manusianya masih dalam taraf pengoperasian perangkat lama atau bahkan mesin ketik!
Dominasi teori relasi kuasa membuat demokrasi terlihat baik dari segi prosedural, tapi minus dari segi substansi. Maka itu, sering kita lihat di tingkat daerah sejumlah oknum eksekutif daerah justru berkongkalikong dengan lembaga pengawasnya (legislatif) untuk sama-sama menzalimi hak-hak rakyat mereka di daerah, tapi semua dilakukan melalui prosedur legal-demokratis yang sah. Mereka memperkaya diri sendiri dan melupakan substansi demokrasi yang ingin mendistribusikan kesejahteraan secara adil bagi seluruh warga negara. Terjadi pembajakan demokrasi oleh para elit yang berkolaborasi dengan kekuatan kapital (modal besar) yang menjadi klien mereka.
Ringkasnya, perjalanan demokrasi kita masih jauh dari sempurna. Kita harus membenahi relasi kuasa oligarkis supaya demokrasi tidak tersandera oleh kepentingan modal. Salah satu caranya adalah dengan melakukan kerja mengasah nalar publik supaya demokrasi menjadi rasional, tidak sentimental. Dengan masyarakat yang rasional, hanya calon pemimpin di ranah eksekutif maupun legislatif dengan rekam jejak baik yang akan dipilih dalam berbagai ajang elektoral. Bukan calon pemimpin yang hanya mengandalkan gimmick, sentimen emosional, ataupun karisma pribadi semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H