Meski kini sudah menjadi industri dan mesin ekonomi yang mampu mengedarkan uang miliaran dolar atau triliunan rupiah, olahraga sepak bola uniknya akan paling berbaik hati kepada para pemain yang mencamkan hakikat sepak bola: permainan bagi olah batin manusia.
Maka itu, filsuf dan sejarawan Belanda Huizinga pernah menyebutkan bahwa fitrah manusia adalah homo ludens alias manusia yang gemar bermain (lihat K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Gramedia Pustaka Utama, 1992). Apabila manusia melalaikan fitrah ini, terciptalah segala simtom penyakit, baik penyakit batin, fisik, maupun sosial. Dalam sepak bola, terbukti para pemain sepak bola yang menjunjung tinggi fitrah homo ludens selalu menorehkan prestasi gemilang.
Pertama, kita bisa tengok Paul "Gazza" Gascoigne yang dijuluki "Si Badut" (Clown) dalam tim nasional Inggris. Terutama dalam Piala Dunia 1990 dan Piala Eropa 1996, Gascoigne bermain penuh gelora serta semangat kreatif penuh canda layaknya anak-anak yang bermain bola riang gembira tanpa beban. Hasilnya, mantan pemain bintang Tottenham Hotspur ini sukses menghibur rekan-rekan tim dan media dengan mimik lucunya plus permainan menawannya. Dua dari prestasinya adalah permainan heroik
Gazza sebagai gelandang yang bermain dengan kepala dibebat penuh darah pada semifinal Piala Dunia 1990 melawan Jerman dan gol sontekan melambung indahnya ketika menjebol gawang Skotlandia di Piala Eropa 1996. Tak heran sampai striker legendaris Inggris, Gary Lineker, pernah berujar: "Syukurlah kita memiliki Gazza. Tanpanya, permainan sepak bola Inggris akan kekurangan hiburan dan kejutan."
Kedua, kiper nasional Prancis kala menjuarai Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000, Fabian Barthez. Penjaga gawang berkepala plontos yang sempat mengawal Manchester United (MU) menjuarai Liga Inggris sebanyak dua kali ini bahkan dijuluki "Si Pelawak" (The Joker) karena ulahnya yang jenaka dan urakan. Masih segar juga dalam ingatan ritualnya bersama bek timnas Prancis Laurent Blanc, di mana sebelum bertanding Blanc sampai mewajibkan dirinya mencium kepala gundul Barthez. Hasilnya adalah juara Piala Dunia dan Piala Eropa secara berturut-turut mengalahkan dua tim kelas super: Brazil dengan skor 3 -- 0 di Piala Dunia 1998 dan Italia dengan skor 2- 1 di Piala Eropa 2000.
Ketiga, pemain legendaris Prancis dan Real Madrid, Zinedine "Zizou" Zidane, pernah bercerita betapa tatkala bermain bola dia selalu teringat masa-masa latihannya sewaktu kecil dulu: bermain riang gembira hanya bermodalkan kain tebal yang digulung-gulung dan diikat layaknya bola kulit. Kenangan itu yang sering Zizou bangkitkan kala bertanding sehingga mampu membawa setiap tim yang dibawanya meraih trofi: mulai dari tim nasional Prancis hingga Juventus dan Real Madrid.
Akhirulkalam, konsep filosofis homo ludens telah terbukti sebagai salah satu resep ampuh bagi siapa pun yang ingin meraih prestasi di lapangan hijau, baik di tingkatan lokal, nasional, maupun global. Jadi bagi para pemain sepak bola: mulailah bermain dengan hati dan gelora batin riang gembira!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H