Tidak akan ada yang bisa membantah bahwa sepak bola merupakan olahraga paling populer di dunia. Bahkan ada yang berseloroh bahwa sepak bola itu sudah ibarat 'agama'. Soalnya, banyak klub maupun tim nasional sepak bola memiliki suporter-suporter yang begitu fanatik sampai rela berbuat apa saja demi mendukung klub dan tim mereka tersebut, termasuk berbuat kekerasan seperti berkelahi dengan suporter tim lain.
Namun, apa sebenarnya yang mendasari fanatisme tinggi suporter sepak bola itu? Guna mendapatkan jawabannya secara mendasar, kita bisa menelaahnya secara filosofis berdasarkan pemikiran sejumlah filsuf. Sebab, filsafat adalah ilmu yang membahas sesuatu secara radikal, yaitu hingga ke akar-akarnya.
Aquinas dan Canetti
Pertama, kita bisa merujuk pemikiran filsafat kesatuan dari Thomas Aquinas (1225-1274). Menurut Aquinas sebagaimana dikutip dari Franz Magnis-Suseno (Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, 2001), ada dua tipe kesatuan (unum). Ada unum in se yang berarti satu pada diri sendiri atau "kesatuan substansial." Artinya, satu kesatuan merupakan sesuatu yang mandiri, sedangkan bagian-bagiannya tidak bisa berdiri atau bertindak di luar kesatuan itu. Kemudian, ada unum ordinis atau "kesatuan tatanan." Inilah kesatuan yang terdiri dari substansi yang menyusun diri sedemikian rupa sehingga membentuk tatanan. Mereka bisa meninggalkan kesatuan tatanan itu dan bertindak otonom, sementara kesatuan itu tidak memiliki jiwa tersendiri.
Berdasarkan pemikiran ini, dalam konteks komunitas suporter bola yang terlalu fanatik, kita bisa mengatakan mereka lebih merasa
diri sebagai unum in se. Artinya, para suporter larut dalam kesatuan komunitas dan akan melebur identitas khas individunya sehingga mereka akan mengikuti secara membuta nilai-nilai beserta tindakan yang dilakukan komunitasnya. Ini termasuk jika nilai-nilai dan tindakan itu bercorak kekerasan, yang belum tentu diamini sang suporter jika secara sendirian mereka sudah tidak lagi bersama komunitasnya.
Kedua, pemikiran filsuf Elias Canetti (1905-1994). Dalam buku Crowds and Power (dikutip dari Reza Wattimena, Filsafat Anti Korupsi, Kanisius, 2012), Canetti menyatakan bahwa manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang takut bersentuhan dengan yang asing dari dirinya. Namun, pemahaman ini berubah setelah manusia masuk menjadi massa bersama manusia-manusia lainnya. Sebab, di dalam massa, manusia menjadi tidak takut untuk bersentuhan dengan manusia lain walaupun mereka tak saling mengenal secara pribadi. Sebaliknya, manusia merasakan nikmat ketika bersentuhan dengan manusia lainnya saat menjelma menjadi massa. Massa dalam pengertian Canetti adalah massa yang padat, yaitu terdiri dari tubuh-tubuh manusia yang saling berdesakan. Tubuh itu anonim dalam arti tidak mengenal satu sama lain, namun menjelma menjadi satu gerak, yakni gerak massa. Di dalam massa, manusia berubah menjadi apa yang bukan dirinya dan menjadi sesuatu yang lain, sesuatu yang memiliki cara berpikir maupun pola perilaku yang amat berbeda dari sebelumnya.
Bagi Canetti, manusia-manusia modern yang cenderung individualistis akan kehilangan individualitasnya di dalam massa dan melebur menjadi tubuh kolektif. Di dalam massa, orang dengan senang hati menyerahkan otonomi dirinya, ruang privatnya, dan ruang intimnya kepada kolektivitas. Inilah juga yang terjadi pada tipe suporter sepak bola yang terlalu fanatik. Individualitas mereka larut ke dalam kerumunan bersama para suporter lain sehingga mereka mengikuti perilaku kelompok ketimbang pertimbangan pribadi mereka sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H