Sesudah hampir 27 tahun menjalani reformasi, negara ini masih belum mampu sepenuhnya mencapai cita-cita reformasi. Di bidang politik, misalnya, kita melihat perkembangan tidak sehat di mana pemerintah merangkul hampir semua partai politik minus PDI Perjuangan (PDIP). Bahkan yang disebut terakhir ini juga tampak menunjukkan sinyal awal untuk merapat. Artinya, bisa jadi pemerintah ke depan tidak akan memiliki oposisi yang bisa memberikan kritik membangun bagi segala kebijakannya. Singkat kata, pemerintah berisiko menjadi tidak demokratis.
Di bidang hukum, kita masih melihat sejumlah kasus di mana lembaga peradilan masih berisikan beberapa oknum yang menerima suap. Di bidang ekonomi pun kita masih tertumbuk pada kenyataan bahwa kesenjangan sosial makin melebar terlepas dari turunnya angka kemiskinan (Kompas.id, 16/1/2025).
Konsolidasi Era Transisi
Sungguh fakta memprihatinkan. Sebab, ini menunjukkan indikasi kegagalan era Reformasi yang ingin melakukan transisi dari masyarakat yang dicengkeram oleh sistem otoriter-totalitarianisme menuju masyarakat demokratis yang mengutamakan kebebasan. Juga, itu berarti 27 tahun masa transisi yang sudah kita jalani justru menghasilkan demokrasi yang terdekonsolidasi alih-alih demokrasi yang terkonsolidasi (solid).
Sebagaimana diungkapkan Larry Diamond dalam Developing Democracy: Toward Consolidation (1999), ada tiga hal utama yang harus diprioritaskan negara-negara transisi, termasuk Indonesia, dalam melakukan konsolidasi demokrasi. Pertama, mengupayakan supaya nilai-nilai demokrasi mampu merasuk ke dalam setiap perilaku warga, terutama elite politik dan kelompok yang
punya pengaruh politik.
Kedua, institusionalisasi politik yang mensyaratkan penguatan kapasitas bagi lembaga politik utama (major political institusions) seperti lembaga peradilan, lembaga legislatif, partai politik, dan pemilihan umum (pemilu).
Ketiga, mengefektifkan kinerja pemerintah untuk dapat menghasilkan kebijakan yang dibutuhkan rakyat. Selain itu, Diamond mewanti-wanti bahwa situasi transisi biasanya kian diperburuk dengan adanya ketidakmampuan pemerintah mengatasi krisis ekonomi berkepanjangan atau penggunaan kekerasan politik oleh faksi-faksi yang ingin meraih kekuasaan.
Beranjak dari kerangka di atas, kalau mau jujur kita harus mengakui hanya agenda kedua yang relatif berhasil ditunaikan Indonesia. Jelas berbagai lembaga politik utama kita sekarang ini jauh lebih bertaji dibandingkan di masa lalu. Kita punya badan legislatif yang mampu mengguncang pemerintah eksekutif dengan berbagai hak seperti hak interpelasi, hak angket, dan lain sebagainya. Pemilihan umum kita pun relatif berhasil dan jurdil. Kita bahkan sudah mampu menyelenggarakan pemilihan umum langsung hingga ke level daerah. Lembaga peradilan kita, terutama Mahkamah Konstitusi (MK), juga sudah relatif baik.
Namun apabila membicarakan kedua agenda lainnya, kita tidak bisa menutup mata bahwa belum ada prestasi yang luar biasa. Soal agenda pertama, sebagai contoh, nilai-nilai demokrasi yang mempenetrasi masyarakat kita boleh dibilang jauh dari sempurna. Sebab, masyarakat kita masih memperlakukan demokrasi sebagai kebebasan semata tanpa disertai dengan tanggung jawab. Demokrasi kita pun menjadi demokrasi yang bising dan penuh hingar-bingar. Semua orang ingin mendesakkan aspirasinya dan ingin menang, tapi tidak rela mengakui kesalahan dan menerima kekalahan.
Selain itu, demokrasi hanya diasumsikan sebagai demokrasi prosedural alih-alih substantif. Makanya, sering kita lihat di tingkat daerah sejumlah eksekutif justru berkongkalikong dengan lembaga legislatif untuk sama-sama mengangkangi hak-hak rakyat mereka di daerah. Atas nama terpenuhinya syarat demokratis secara prosedur, mereka memilih mencari keuntungan bagi diri sendiri dan melupakan substansi demokrasi yang ingin mendistribusikan kesejahteraan secara adil bagi seluruh warga negara.