Lihat ke Halaman Asli

Satrio Wahono

magister filsafat dan pencinta komik

Perlunya Kita Punya Etika Politik Pancasila

Diperbarui: 16 Januari 2025   14:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lambang Garuda Pancasila (Sumber: perpustakaan.id)

Belakangan ini, banyak kalangan mengeluhkan betapa Indonesia mengalami beraneka masalah di bidang politik, seperti masih masifnya kasus korupsi yang justru melibatkan tokoh penyelenggara negara yang seharusnya menjadi teladan. Belum lagi beraneka tingkah pragmatis lain yang orientasi sesungguhnya hanyalah kekuasaan.

Berbagai masalah di atas kemudian dinisbatkan pada abainya manusia Indonesia akan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam dasar filsafat negara kita, Pancasila. Singkat kata, pengabaian manusia Indonesia terhadap etika politik Pancasila.

Hanya sayangnya,  selama ini belum ada upaya sistematis untuk menjabarkan apa itu etika politik Pancasila. Makanya, upaya awal untuk merumuskan etika semacam itu diperlukan. Etika politik sendiri secara umum merupakan “etika yang mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia terhadap negara, hukum yang berlaku, dan lain sebagainya serta membahas legitimasi etis kekuasaan" (Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, GPU, 2015). Dalam konteks etika politik Pancasila, yang dipertanyakan tentunya tanggung jawab dan kewajiban manusia Indonesia.

Guna menjabarkan etika politik pancasila, kita perlu menelaah hubungan antara kelima sila Pancasila mengenai dimensi politik manusia sebagai satu keseluruhan. Ada lima poin telaah yang bisa dikemukakan dalam rintisan etika politik Pancasila. Pertama, berdasarkan sila Ketuhanan yang Maha Esa, Indonesia sesungguhnya bukanlah negara teokrasi berbasiskan satu agama, tapi juga bukan negara sekuler yang tidak membolehkan pelibatan nilai-nilai agama dalam wilayah publik. Sebaliknya, Indonesia mengakui dan justru mengharuskan nilai-nilai agama masuk ke dalam wilayah publik, termasuk politik, tapi tidak eksklusif pada nilai-nilai satu agama saja, entah itu agama mayoritas maupun minoritas. Inilah yang disebut Prof Mukti Ali dengan pernyataan bahwa "Indonesia bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler."

Terkait masalah legitimasi etis kekuasaan, Ismail Suny (dalam Jimly Asshidique, Islam dan Kedaulatan Rakyat, GIP, 1995) menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut ajaran Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum sekaligus. Maksudnya, kedaulatan pada hakikatnya berada di tangan Tuhan. Akan tetapi, dalam kehidupan bernegara, tentulah Tuhan tidak turun tangan langsung mengaturnya. Pengaturan itu didelegasikan kepada rakyat dalam bentuk Kedaulatan Rakyat. Rakyat-lah yang lantas memegang dan melaksanakan kedaulatan itu melalui mekanisme kenegaraan. 

Ringkasnya, kedaulatan rakyat Indonesia adalah penyelenggaraan kedaulatan Tuhan oleh seluruh rakyat yang merupakan hamba-hamba Tuhan. Lantas, pelaksanaan perintah-perintah Tuhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimusyawarahkan oleh rakyat melalui perantara wakil-wakilnya. Hasil permusyawaratan rakyat itulah yang menjadi bentuk kesadaran hukum rakyat, yang ditetapkan oleh DPR bersama-sama Presiden dalam bentuk pembuatan undang-undang.

Artinya, legitimasi etis kekuasaan berdasarkan etika politik Pancasila bersumber dari Tuhan yang lantas didelegasikan kepada rakyat, yang kemudian memilih pemimpin dan para wakil rakyatnya melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu) legislatif, presiden, maupun kepala daerah.

Kedua, terkait sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, politik di Indonesia harus dijalankan dengan semangat keadaban atau budaya kewargaan (civic culture) dalam kerangka masyarakat madani (civil society) yang dilandaskan pada dua sendi: kebebasan (freedom) dan supremasi hukum (rule of law). Konsekuensinya, kebebasan berekspresi, berserikat dan mengeluarkan pendapat tidak boleh dibelenggu asalkan berada dalam koridor hukum yang berlaku.

Ketiga, sehubungan dengan sila Persatuan Indonesia, praktik politik di Indonesia harus diarahkan pada semangat menjaga kebinekaan dalam kerangka NKRI. Maka itu, sistem politik Indonesia mesti merawat kebinekaan dengan cara mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah di mana daerah diberikan wewenang untuk mengelola masalah-masalahnya sendiri berdasarkan asas desentralisasi. Plus, melakukan penegakan hukum (law enforcement) terhadap praktik-praktik politik yang mengancam kebinekaan.

Keempat, seturut sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, segala praktik penyelenggaraan negara harus dikembalikan kepada rakyat. Dalam praktik, segala kebijaksanaan serta keputusan yang diambil oleh penyelenggara negara harus berdasarkan hukum yang berlaku (legitimasi hukum), mewakili kepentingan rakyat (legitimasi
rakyat), dan berdasarkan prinsip-prinsip moralitas (legitimasi moral). Karena itu, segala kebijakan politik dan perilaku para politikus haruslah tunduk pada ketentuan hukum, prinsip-prinsip demokrasi, kepentingan rakyat, dan prinsip-prinsip moral.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline