Salah satu fenomena sosial finansial memprihatinkan di Indonesia setidaknya lima tahun ke belakang adalah pinjaman online atau pinjol. Pasanya, begitu banyak kita baca dan dengar ada orang yang mengalami depresi, bahkan sampai bunuh diri, karena terlilit bunga pinjol yang mencekik leher dan diteror para penagih utang (debt collector) dengan cara tidak manusiawi. Bayangkan saja, ada debitur yang mendapati pinjamannya membengkak dari hanya Rp2,5 juta menjadi puluhan bahkan ratusan juta karena keterlambatan pembayaran dan skema bunga berbunga! Kemudian, praktik penagihan utang dilakukan dengan cara mempermalukan martabat seperti menagih ke nomor kontak kerabat yang tidak tahu-menahu tentang hubungan pinjam-meminjam sang debitur.
Namun, di sisi lain layanan pinjol yang legal sebenarnya memiliki manfaat. Sebab, mereka memberikan jalan keluar sementara bagi masyarakat yang memang membutuhkan dana pinjaman. Akan tetapi, masyarakat juga harus tetap waspada. Pasalnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun membolehkan pinjol legal mengenakan denda keterlambatan sebesar maksimal 0,8 persen per hari, dengan maksimal denda 100 persen dari dana pinjaman. Artinya, tetap ada risiko cukup tinggi kala kita meminjam uang dari aplikasi pinjol yang dan terdaftar di OJK. Karena itu, setiap orang sejatinya harus membekali diri dengan dasar-dasar perencanaan keuangan, terutama yang terkait dengan utang.
Peran Pegadaian
Merujuk Safir Senduk (Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya?, Elex Media, 2006, hal.57), salah satu prinsip dasar berutang adalah pilih dengan siapa Anda berutang. Aturan emasnya adalah pilih pihak yang paling bisa fleksibel bernegosiasi kalau Anda sedang tidak mampu membayar. Urutan pihak dari yang paling susah hingga paling mudah diajak bernegosiasi adalah: rentenir (bisa kita artikan sebagai pinjol ilegal dalam konteks saat ini), perusahaan pembiayaan (leasing and leaseback), Bank, Pegadaian, kantor atau koperasi kantor, teman/saudara, orangtua/mertua, dan pasangan.
Memodifikasi pendapat Safir Senduk di atas, sumber utang dari segi fleksibilitas secara sosiologis bisa dikerucutkan lagi menjadi dua. Pertama, sumber personal/internal, yaitu sumber utang yang kita kenal secara pribadi. Di sini, sumber utang personal adalah kantor, teman atau saudara, orangtua/mertua, dan pasangan. Kedua, sumber impersonal/eksternal, yakni sumber utang yang tidak kita kenal secara pribadi (personal), sehingga hubungan pinjam-meminjam lebih bersifat teknis, rasional, dan dingin (tanpa
melibatkan elemen emosi). Termasuk dalam sumber utang impersonal ini adalah rentenir, perusahaan pembiayaan, Bank, dan Pegadaian.
Dalam konteks pinjam-meminjam, kita biasanya lebih sering berurusan dengan sumber impersonal. Alasan umumnya bisa karena kita malu mengingat sumber utang itu kita kenal secara pribadi, atau bisa juga karena sumber utang personal kebanyakan mengalami masalah keuangan yang serupa dengan kita, sehingga sulit bagi mereka untuk memberikan pinjaman, apalagi dalam jumlah besar.
Karena itu, secara logis kita harus memilih sumber utang impersonal yang paling kecil risikonya, yaitu mereka yang lebih fleksibel diajak bernegosiasi. Di sinilah, PT Pegadaian sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sesuai dengan kategori tersebut. Pasalnya, Pegadaian memang memiliki visi mulia berupa keinginan mencegah ijon, rentenir, dan pinjaman tidak wajar lainnya; meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil; dan mendukung program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional (www.pegadaian.co.id). Apalagi sejak 2021, Pegadaian sudah menjadi anak perusahaan dari bank BUMN besar, BRI.
Selain itu, Pegadaian mensyaratkan calon debitor untuk menjadikan aset mereka sebagai agunan (collateral) guna memperoleh pinjaman, seperti agunan dalam bentuk logam mulia, perhiasan, kendaraan bermotor, dan lain sebagainya. Sehingga, ketika debitor tidak mampu membayar, mereka tidak akan dikejar oleh debt collector, melainkan hanya harus merelakan aset agunan mereka dilelang untuk melunasi jumlah kewajiban. Di sini, debitor dijamin terhindar dari praktik penagihan utang yang tidak manusiawi.
Bahkan, jika hasil lelang ternyata melebihi jumlah kewajiban, Pegadaian akan memberikan hasil kelebihan itu kepada debitor.
Tambahan lagi, Pegadaian memberikan bunga yang masuk akal, yaitu antara 1 persen sampai 1,2 persen per 15 hari atau sekitar 24 persen atau 36 persen per tahun. Ini tentu jauh lebih rendah dibandingkan bunga pinjaman dari pinjol ilegal. Pegadaian pun membolehkan debitor tidak mencicil pokok pinjaman, melainkan hanya membayar bunga pinjaman untuk memperpanjang masa gadai. Ini jelas suatu keringanan mengingat sumber pinjaman lain biasanya mensyaratkan debitor membayar pokok dan bunga pinjaman secara rutin. Bahkan, Pegadaian juga membolehkan debitor menambah jumlah pinjaman (top-up) jika nilai barang agunan kita naik, seperti logam mulia yang dari tahun ke tahun memang punya kecenderungan naik harganya.
Perluas kategori agunan
Alhasil, Pegadaian menjadi entitas negara yang berperan sangat strategis untuk menghindarkan masyarakat dari jebakan kantor pinjol ilegal. Hanya saja, Pegadaian perlu meningkatkan lagi perannya itu dengan memperluas kategori agunan. Sebab, selama ini Pegadaian hanya menerima agunan terbatas berupa logam mulia, kendaraan bermotor, dan beberapa barang elektronik, seperti handphone atau laptop. Ini jelas mempersempit akses masyarakat yang butuh pinjaman, tapi tidak memiliki jenis agunan yang
disyaratkan Pegadaian.