Salah satu ironi dunia modern saat ini adalah kenyataan betapa manusia dengan segala kemajuan teknologi dan pencapaian gemilang akal-budinya masih berkutat menggeluti masalah-masalah sama bahkan dalam skala yang lebih dahsyat: konflik antarbangsa dan antaragama, kemiskinan dan krisis ekonomi, perbudakan modern dalam bentuk perdagangan manusia (human trafficking), menggejalanya kriminalitas dan tindak kekerasan, dan lain sebagainya. Wajar jika timbul pertanyaan: apa yang berjalan
keliru dalam perjalanan sejarah umat manusia ini?
Dromologi
Pemikir postmodern Prancis kontemporer Paul Virilio dalam bukunya Lost Dimension (1991) mengungkapkan dunia global masa kini terperangkap dalam apa yang disebut sebagai dromologi. Diambil dari kata drome yang berarti jalur lintasan balap, dromologi adalah istilah untuk merujuk kondisi di mana berbagai batasan ruang, waktu, dan kedaulatan di dalam dunia telah melebur akibat serangkaian perubahan teknologi dalam bidang transportasi, komunikasi, telekomunikasi, komputer, dan lain
sebagainya.
Artinya, kecepatan perubahan ini---terutama perubahan telekomunikasi seperti kemunculan Internet, media sosial, dan artificial intelligence (AI)---menciptakan dunia hiruk-pikuk dan bising yang penuh dengan citraan dan penampakan. Kita bisa lihat, sebagai contoh, betapa satu perubahan ekonomi di satu negara bisa berdampak pada kenestapaan ekonomi di negara lain. Atau, bagaimana satu peristiwa politik di satu wilayah bisa dengan cepat diketahui oleh masyarakat dunia dan menimbulkan efek luas di wilayah lain,
sebagaimana terjadi ketika revolusi di Tunisia satu dasawarsa lalu dengan cepat menyebar ke Mesir dan berbagai negara
Timur Tengah lainnya akibat revolusi teknologi informasi. Juga, bagaimana kejahatan penipuan kartu kredit (credit fraud) misalnya bisa dilakukan hanya dengan beberapa klik tetikus (mouse) di balik komputer satu rumah.
Dengan kata lain, meskipun revolusi teknologi menghasilkan perubahan luar biasa dalam cara manusia berkomunikasi dan berinteraksi, tetap ada satu efek negatif yang tak kalah dahsyatnya. Yaitu, lalu-lintas kecepatan tinggi dari hilir-mudik informasi ini ternyata tidak menyisakan ruang banyak bagi manusia untuk merenungkan informasi yang mereka cerap dan mendapatkan kekayaan wawasan dari sana. Persepsi dan opini manusia akhirnya sangat tergantung oleh filter media yang, pada gilirannya,
justru menumpulkan daya kritis dan empati manusia. Singkat kata, dromologi justru melahirkan dunia penuh kedangkalan makna.
Kita bisa ambil sebagai contoh betapa orang yang demikian sering terpajan oleh berita kriminalitas dan kemiskinan di mana-mana lewat televisi maupun media sosial tentu akan mengembangkan imunitas (kekebalan) dalam kadar tertentu pada peristiwa kejahatan dan kemiskinan tersebut. Sehingga, setiap peristiwa dianggap sebagai hal biasa dan berlalu begitu saja sebagai sekadar tontonan yang akan digantikan tontonan lain. Akibatnya, keterpajanan berat manusia atas informasi itu kian menipiskan rasa empati dari manusia modern. Konsekuensi logisnya, terjadilah fenomena di mana kita sering menyebut betapa masyarakat modern adalah masyarakat yang tidak peduli terhadap sesama dan sangat egoistis dalam artian hanya mengutamakan kepentingan pribadi mereka.
Memperlambat ritme
Lantas, bagaimana kita menghadapi kondisi dromologi yang kian mencemaskan di era kiwari (masa kini) ini? Sederhana jawabnya: memperlambat irama hidup. Meminjam pendapat Carl Honore dalam buku larisnya, In Praise of Slow (terjemahan, Mizan, 2006), manusia yang mampu memperlambat irama hidupnya di tengah deru cepat kesibukan zaman modern yang menghamba pada materi, modal (kapital), dan pemuasan hasrat pribadi, akan mendapati hidupnya lebih seimbang, tergenapi, bahagia dan bermakna. Sekaligus, perlambatan irama kehidupan ini akan mampu mengendalikan keserakahan manusia yang terbukti telah melahirkan krisis luar biasa raksasa di segala lini: mulai dari krisis ekonomi hingga krisis lingkungan di planet ini. Kalangan gen Z saat ini menyebutnya sebagai slow living.
Langkah-langkah konkret perlambatan ritme hidup alias slow living ini bisa mencakup spektrum yang luas, dari mikro ke makro. Langkah mikro misalnya dengan mematikan gadget kita di kala waktu istirahat, yang sekaligus menghemat usia barang elektronik dan mengurangi sampah kimia. Sementara langkah makro bisa berupa gerakan masif berdasarkan iktikad politik (political will) kuat untuk memberikan ruang publik gratis lebih luas---seperti taman kota---guna memberikan kesempatan lebih lapang bagi manusia dalam menghadirkan sunyi sejenak dalam hidupnya yang selama ini sudah penuh hiruk pikuk dengan pengejaran laba yang menyesakkan dada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H