Lihat ke Halaman Asli

Satrio Wahono

magister filsafat dan pencinta komik

Kita Harusnya Paham, Prabowo-Gibran itu Satu Paket

Diperbarui: 14 Januari 2025   10:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelumnya, saya perlu mengajukan disclaimer: saya bukan pendengung (buzzer) politik yang terafiliasi dengan mantan Presiden Joko Widodo maupun wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Bahkan, jauh sebelum para penggiat demokrasi keras mengkritik Joko Widodo dan beliau menjadi Presiden, saya sudah mengajukan kritik akademis tajam kepada mantan walikota Solo dua periode itu. Jejak digital tulisan saya bisa ditemukan di kolom opini Jakarta Post pada 24 Februari 2014 berjudul 'Jokowi is no political demigod' alias bukan manusia setengah dewa (tautan artikel di bawah ini).  

https://www.thejakartapost.com/news/2014/02/24/jokowi-no-political-demigod.html

Kritik saya di berbagai kolom opini politik media massa pun (Republika, Media Indonesia, Banjarmasin Post, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, dan lain sebagainya) terus berlangsung selama dua periode Pak Jokowi menjadi Presiden. Maka itu, saya bisa mengklaim bahwa tulisan ini berangkat dari pandangan objektif saya meskipun terkesan membela beliau dan anak beliau yang kini menjadi wakil presiden, Gibran.

Pasalnya, saya melihat fakta memprihatinkan bahwa banyak penggiat demokrasi dan media massa terus-terusan mengkritik Gibran sebagai 'anak haram konstitusi', 'hasil dinasti politik', 'kurang intelektual karena penggunaan kata para-para', 'terlihat tidak kerja', 'terduga fufufafa', dan sebagainya. Lebih jauh lagi, para pengecam ironisnya sering menyeret nama Jokowi ketika ada kebijakan pemerintahan saat ini yang dianggap tidak baik, seperti kebijakan PPN 12 persen.

Sementara itu, sentimen terhadap Presiden Prabowo Subianto sebagai pemegang komando kepemimpinan tertinggi negeri ini terlihat masih positif dengan kata-kata, 'berwibawa', 'tegas', 'intelektual karena cakap berbahasa asing' 'patriotis', dan sebagainya. Padahal, ada juga sejumlah kebijakan Prabowo yang perlu dikritisi, seperti ambil contoh kabinet yang terlalu gemuk, kesan mengalah dengan China dalam sengketa Laut China Selatan, rencana mengampuni koruptor asal mengembalikan dana hasil korupsi, dan rencana mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD.

Di sinilah saya melihat penilaian tak berimbang, pilih kasih, dan kurang fair dari sebagian penggiat demokrasi, media kritis, dan netizen kepada Prabowo dan Gibran. Kritik sering ditujukan kepada Gibran, tapi lebih sedikit kepada Prabowo. Padahal, kita harus memandang keduanya sebagai satu paket yang sama-sama dipilih oleh rakyat. Para pencinta Prabowo harus ingat bahwa Prabowo bisa jadi tak akan menjadi Presiden jika tanpa Gibran, demikian juga sebaliknya. Prabowo memilih Gibran tentu dengan sadar, sukarela, dan berdasarkan pertimbangan politik matang. Hubungan keduanya saling membutuhkan alias simbiosis mutualistis. 

Kemudian, kita juga harus menyadari bahwa segala keputusan politik berada di tangan Presiden sebagai kepala pemerintahan tertinggi republik ini. Artinya, jika ada kebijakan pemerintah yang dirasa melenceng dari rel demokrasi dan cita kesejahteraan rakyat, Presiden-lah yang harus menjadi sasaran tembak pertama dan harus mengemban tanggung jawab. Sementara tugas wakil presiden hanya membantu, terutama jika sejak dari kontrak politik awal tidak ada komitmen pembagian tugas. Ini berbeda dengan dinamika hubungan Presiden dan Wakil Presiden semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Kala itu, keduanya punya komitmen politik pembagian tugas bahwa Presiden SBY fokus pada masalah politik-keamanan, sementara Pak JK fokus pada masalah sosial-ekonomi, meskipun putusan akhir tetap ada di tangan Pak SBY.

Karena itu, perlakuan perbedaan saat mengkritik pemerintahan, yaitu kritik tajam kepada Gibran dan kritik lunak kepada Prabowo, menjadi sesuatu yang janggal dan bisa membahayakan kestabilan politik ke depan. Mengapa berbahaya? Karena ini justru bisa memicu konflik antara Presiden dan Wakil Presiden, yang padahal mungkin tidak ada masalah sebenarnya. Mungkin saja ke depan salah satu pihak merasa terbebani dengan kritik kepada mitra pemerintahannya, atau pihak yang satunya merasa tidak dibela. Ujung-ujungnya, bisa timbul perasaan tidak enak yang berpuncak pada konflik antara keduanya. Padahal, konflik antara Presiden dan Wakil Presiden seperti yang terjadi di Filipina antara Presiden Marcos dan Wakil Presiden Duterte terbukti menimbulkan ketidakstabilan politik di sana.

Akhirulkalam, sudah saatnya kita mengkritik pemerintahan sebagai satu paket. Jika ada kebijakan pemerintah yang dirasa salah, kritiklah keduanya, yaitu Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu paket. Jangan salah satunya saja, apalagi dengan tetap memuji satunya lagi. Bukannya membantu, kritik pilih kasih seperti itu malah berpotensi kontraproduktif bagi kesehatan sistem politik maupun demokrasi kita.

 

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline