Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa salah satu faktor yang menyelamatkan Indonesia dari beberapa kali krisis global adalah fakta bahwa hanya sekitar 1 persen rakyat Indonesia menempatkan uangnya di pasar finansial, tepatnya 11.228.382 menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada semester I/2023. Sementara, selebihnya banyak bergerak di sektor riil. Khususnya lagi, sebagian besar pelaku sektor riil itu bergerak di sektor informal, utamanya sektor kaki lima. Sungguh suatu rentetan fakta yang membuktikan betapa sektor kaki lima ternyata dapat menjadi 'anti-tesis' bagi krisis global.
Belajar dari De Soto
Tak kurang dari ekonom kondang pemenang Nobel Hernando de Soto mengakui kekuatan ekonomi kaki lima ini. Dalam Masih ada Jalan Lain (YOI, 1991), de Soto mengambil contoh di Peru untuk menjelaskan bahwa berjalannya sistem ekonomi merkantilisme di negara tersebut telah melahirkan kekuatan perekonomian bayangan (shadow economy), yaitu kekuatan ekonomi kaki lima.
Untuk menyegarkan ingatan, De Soto menjelaskan bahwa merkantilisme adalah suatu sistem di mana sumber daya ekonomi dikuasai hanya oleh segelintir elit korup. Akibatnya, para elit itu membatasi akses orang untuk berusaha, kecuali apabila orang itu memiliki koneksi atau membayar upeti tertentu. Singkatnya, kecuali bila terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Bayangkan saja, di Peru---setidaknya saat de Soto melakukan penelitian di sana pada 1980-an akhir---dibutuhkan hampir 9 bulan untuk mengurus surat izin usaha resmi atau formal! Jelas birokrasi berbelit semacam ini tidak bersahabat bagi individu yang berikhtiar untuk mengakumulasi kapital secara legal. Alhasil, individu-individu yang terhalang inisiatif pribadinya tersebut bergerak membentuk usaha informal alias membangun sebuah ekonomi bayangan, yang terbukti begitu besar asetnya dan begitu dahsyat kekuatan ekonominya sebagai bentuk perlawanan terhadap merkantilisme Peru.
Sayangnya, karena sifat informalnya itu, pelaku perekonomian bayangan ini tidak memiliki legalitas atas asetnya yang luar biasa itu, legalitas yang diperlukan untuk dikonversikan menjadi modal atau kapital untuk berekspansi. Padahal, aset itu riil dan tangible (berwujud) adanya. Itulah sebabnya de Soto melanjutkan analisanya dalam The Mystery of Capital (2000) bahwa kapitalisme tidak dapat tumbuh di negara berkembang---jadi, tidak terbatas pada Peru semata---di mana perekonomian bayangan tumbuh subur. Sebab, ketiadaan legalitas atas aset mereka membuat lembaga keuangan tidak mau melirik mereka sebagai sasaran penerima kredit. Padahal, jika pemerintah mereka memiliki kehendak politik untuk melakukan legalisasi (dokumentasi legal) terhadap aset-aset perekonomian bayangan itu, sehingga bank mau mengakui keabsahan aset tersebut, niscaya perekonomian kaki lima akan memiliki kekuatan untuk berekspansi lebih jauh.
Oleh karena itu, perekonomian bayangan ala de Soto sebenarnya memiliki dua sisi dari satu mata uang yang sama. Di satu sisi, ia memiliki kelemahan berupa bentuk asetnya yang sebagian besar merupakan modal mati (dead capital) akibat ketiadaan legalisasi. Di sisi lain, asetnya itu sendiri merupakan kekuatan karena sifatnya yang riil dan bernilai uang (moneyness). Makanya, pelajaran penting dari de Soto adalah pemerintah perlu melakukan proses legalisasi dead capital secara terukur untuk perekonomian bayangan, misalnya lewat kemudahan pengurusan sertifikat hak milik atas tanah. Ini akan bermanfaat untuk memperkuat sektor ekonomi informal, yang terbukti menjadi salah satu sendi kunci dalam perekonomian kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H