Lihat ke Halaman Asli

Satrio Wahono

magister filsafat dan pencinta komik

Membaca Panduan Mereformasi Tentara dari Salim Said

Diperbarui: 11 Januari 2025   16:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kover Buku Ini Bukan Kudeta (Sumber: Koleksi pustaka pribadi)

Dalam sejarah politik, peran tentara selalu menjadi perbincangan di mana-mana, termasuk Indonesia. Kita pernah mengalami masa di mana tentara demikian kuat hingga meminggirkan masyarakat madani. Pun di masa demokrasi seperti sekarang, peran politik
tentara belum sepenuhnya pupus.

Buku Salim Haji Said, Ini Bukan Kudeta, menggelar peta jalan menuju reformasi tentara sebagamana dicitakan dalam teori demokrasi. Sebagai seorang pengamat militer kawakan—gelar Ph.D ia dapatkan di Ohio State University dengan disertasi soal politik
militer Indonesia—sekaligus jurnalis senior Salim membedah pemangkasan peran politik (depolitisasi) tentara di empat negara, yaitu Mesir, Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia.

Secara jernih, Salim langsung menguraikan kerangka teorinya bahwa persoalan peran politik militer sesungguhnya bersumber dalam masyarakat sendiri, yaitu dalam bentuk rendahnya institusionalisasi demokrasi, ketidakberdayaan kelas menengah, pertentangan
antara kelompok-kelompok dalam masyarakat (fragmented society), dan ketidakmampuan elite mengelola politik di negeri mereka (hal. 22-23). Sehingga, ini mengundang militer untuk melakukan intervensi ke dalam politik.

Di Indonesia, misalnya, elit militer yang awalnya bertekad menjadikan TNI sebagai kekuatan profesional justru diseret ke dalam politik oleh Presiden Sukarno yang memerlukan dukungan tentara untuk memperkecil peran partai politik. Ini diperkuat Sukarno pada November 1958 dengan meresmikan TNI sebagai kekuatan politik legal dalam kelompok “Angkatan Karya”, yang merupakan satu dari tujuh “Angkatan Karya” dalam tubuh Golongan Karya (hlm.. 27). Peran politik inilah yang secara kebablasan diteruskan oleh Presiden Soeharto untuk melestarikan kekuasaannya yang tidak demokratis.

Menengok ke Mesir, peran militer menguat tatkala Mesir di masa Husni Mubarak mulai mengadopsi sistem pasar bebas. Ini menuruti desakan AS yang melihat gerakan Islam radikal terjadi karena penindasan rezim otoriter di wilayah Timur Tengah. Apa lacur, sistem
pasar bebas ini justru hanya melahirkan segelintir orang kaya baru dan kesenjangan sosial parah yang meniscayakan peran politik militer sebagai alat untuk merepresi protes-protes rakyat. Sistem pemerintahan seolah-olah demokrasi ini disebut rezim hibrid (hlm. 36).

Tatkala penderitaan rakyat kian terakumulasi, meledaklah krisis ekonomi yang lantas membuat militer membaca angin dan berbalik arah untuk mengamankan kepentingannya sehingga mahasiswa-mahasiswa revolusioner bisa menggulingkan Mubarak dan mendapuk Mohammad Morsi dari Ikhwanul Muslim sebagai penggantinya. Sayangnya, kepercayaan diri Morsi yang berlebihan dalam mengontrol tentara dan kegagalannya berkoalisi dengan kelompok-kelompok politik lain memunculkan masyarakat terbelah (fragmented society) yang memunculkan celah bagi militer untuk kembali berkuasa (hlm. 41).

Kasus Thailand kian menguatkan teori Salim. Politik Thailand yang secara tradisi dikuasai bersama oleh kaum Royalis (bangsawan), militer, birokrat dan kaum kapitalis merasa terancam oleh kemunculan Thaksin Shiniwatra sebagai Perdana Menteri pada 2001.
Kebijakan populis Thaksin dianggap membahayakan dominasi politik dan ekonomi militer serta kaum mapan (hal. 51). Akibatnya, muncullah konflik antara kelompok Baju Kuning (pendukung negara lama/deep state) dan Baju Merah (pendukung Thaksin). Kembali, kondisi fragmented society seperti ini membuat kedua kelompok justru mengharapkan militer untuk berpolitik (hlm. 58). Jika mau diringkas, kita bisa mengatakan bahwa tentara Thailand, Mesir, dan Indonesia sejatinya hanya memenuhi “undangan” dari fragmented society yang tidak sanggup mengatasi konflik.

Kisah sukses reformasi tentara yang paripurna akhirnya bisa ditemukan di Korea Selatan. Di negara ini masalah praetorian, yaitu bagaimana para politisi terpilih bisa mempertahankan kendali atas militer, terselesaikan secara baik (hlm. 61). Ada dua faktor di
balik itu. Pertama, faktor-faktor struktural (fortuna) seperti perekonomian yang lebih maju, etnis yang homogen, dan tingkat pendidikan masyarakat yang lebih tinggi. Kedua, faktor keterampilan politik (virtu) para elit politik dalam memobilisasi kepercayaan masyarakat madani dan kekuatan pro-demokrasi yang masif akan reformasi menjadi kebijakan depolitisasi militer (hlm. 79).

Terakhir, Salim melihat Indonesia bukannya tanpa kemajuan dalam mereformasi tentara. Sayangnya, prestasi awal Habibie memangkas peran militer justru direm oleh kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid yang mencampuri proses mutasi di TNI. Akibatnya, muncul ketidakpercayaan militer terhadap sipil dan tetap bertahannya sebagian fungsi politik militer, seperti masih adanya sistem teritorial dan tidak diadilinya para anggota militer yang dituduh melakukan pelanggaran HAM di Timor Timur, Aceh, dan Papua (hlm. 101).

Oleh karena itu, buku ini sesungguhnya memberikan arahan jelas bagi pembaca yang peduli terhadap kemajuan demokrasi. Yaitu: mengembangkan reformasi tentara secara paripurna lewat cara memajukan budaya demokrasi, mencegah keterbelahan masyarakat, dan mendorong keberanian dan keterampilan para elit politik sipil.
 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline