Lihat ke Halaman Asli

Satrio Wahono

magister filsafat dan pencinta komik

Mengkritik Konsep Pancasila sebagai Agama Publik

Diperbarui: 10 Januari 2025   21:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai seseorang yang kerap diminta mengajarkan mata kuliah Filsafat Pancasila di suatu kampus swasta, saya kerap membaca sejumlah literatur tentang dasar filsafat negara kita itu. Saya mendapati banyak wawasan menarik dari kegiatan ini. Salah satunya adalah diskursus yang berargumen bahwa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa bisa menjadi landasan teologi bagi “agama publik” Pancasila. 

Namun, istilah ‘agama publik’ ini bagi saya kontroversial karena terkesan menyamakan agama dengan ideologi, dalam hal ini Pancasila. Pada gilirannya, ini justru bisa mengakibatkan relasi yang antagonistis antara agama dan negara seraya mempertajam keterbelahan masyarakat akan menajam.

Padahal, istilah ‘agama publik’ ini dari genealoginya sudah mengandung problem serius. Konsep yang bermuasal dari Jose Casanova dan diteruskan ke Indonesia oleh Benyamin F. Intan (“Wajah Agama Publik di Indonesia,” Reform Review, 2007) ini sesungguhnya bisa dilacak pada konsep agama sipil Robert N. Bellah pada 1970-an yang jelas terinspirasi dari konsep ‘agama sipil’ dari filsuf Prancis, Jean Jacques Rousseau. Karya serius tentang Rousseau oleh Charles Beraf, Orang-orang Kalah (Lamalera, Yogyakarta, 2012), menunjukkan bahwa agama sipil sebagai acuan bersama dalam rangka mewujudkan Kehendak Umum (volonte generale) yang dirumuskan secara kolektif demi kebaikan bersama. Masalahnya, ketika Kehendak Umum yang dimediasi agama sipil ini sudah tercapai, maka kelompok minoritas harus tunduk kepada Kehendak Umum itu, walaupun dengan tindakan koersi sekali pun. Artinya, kaum minoritas itu harus “dipaksa untuk bebas” demi menikmati kehidupan harmoni dalam suatu tata politik demokratis.

Demokrasi Deliberatif

Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat bahwa slogan populer “Kami Pancasila, Kami Indonesia” berpotensi menjadi alat eksklusi untuk menafikan kalangan warga yang sesungguhnya bisa jadi hanya berbeda tafsir dalam memandang Pancasila. Dengan kata lain, negara beserta aparatus-aparatusnya justru menindas elemen masyarakat warga (civil society) yang memiliki tafsir minoritas dalam mengisi ruang-ruang interpretasi yang memang lapang disediakan oleh Pancasila yang hanya berisikan lima sila ringkas. Padahal, segala aspirasi maupun interpretasi asalkan tidak disertai dengan tindakan kekerasan terhadap yang liyan (the Other) harusnya
diakui dalam negara demokrasi.

Oleh karena itu, diskursus ‘Pancasila sebagai agama publik’ dapat mengundang polemik tajam, bahkan dengan konsekuensi lebih jauh: Kementerian Agama secara logis mesti dihapuskan. Sebab, toh agama yang mampu mensintesiskan nilai-nilai luhur agama-agama doktrinal atau terlembaga (institutionalized religion) sudah ada dalam bentuk ‘agama publik’ Pancasila.

Padahal, ada jalan yang lebih elegan dalam mendamaikan relasi antara aspirasi agama dan negara. Yaitu, sosialisasikan supaya agama-agama terlembaga itu mengembangkan tafsir doktrinal terhadap Pancasila yang sesuai dengan nilai-nilai madani atau kepublikan. Dengan adanya ‘tafsir madani’ ini, Pancasila akan terhindar dari status fethis (pemujaan) sebagai semacam 'agama' baru, sementara agama-agama yang ada tetap bisa memberikan kontribusi positif bagi proses perumusan kebijakan-kebijakan konkret dalam memecahkan masalah-masalah publik.

Lantas, bagaimana caranya menghasilkan produk-produk tafsir madani itu secara baik?  Melalui apa yang disebut Habermas sebagai ‘demokrasi deliberatif’ (F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hal. 127). Demokrasi ini bermakna bahwa bukan jumlah kehendak perseorangan dan juga bukan kehendak umum yang menjadi sumber legitimasi, melainkan
proses pembentukan keputusan politis yang selalu terbuka terhadap revisi secara deliberatif dan diskursif-argumentatif. Deliberatif sendiri adalah semacam permusyawarahan, sehingga ini sangat kompatibel dengan sila ke-4 Pancasila sekaligus dengan keinginan mewujudkan Demokrasi Pancasila.

Artinya, berbagai aspirasi yang berbeda jangan diperlakukan sebagai musuh yang harus ditindas (enemy)—sebagaimana dalam konsep agama sipil dan Kehendak Umum Rousseau—tapi sebagai mitra-tanding (adversary) yang berkedudukan setara dan justru diperlukan demi menghasilkan keputusan-keputusan bermutu. Demokrasi deliberatif justru mementingkan disensus alih-alih konsensus (Budiarto Danujaya, Demokrasi Disensus, KPG, 2012).

Dengan kata lain, tafsir agama madani/kepublikan (sila pertama) dalam ruang publik yang dimediasi proses demokrasi deliberatif (baca: demokrasi musyawarah/Pancasilais yang sesuai sila ke-4) akan menghasilkan dialektika gagasan dan aspirasi antar warga negara secara mengasyikkan (sila ke-2) dan bersahabat dalam semangat persaudaraan (sila ke-3) demi mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune) alias keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5). Dengan kata lain, Pancasila adalah common platform dan ideologi terbuka yang menjadi wahana bagi proses diskursif sesama elemen masyarakat warga dari beraneka latar belakang, entah itu agama, ras, suku, ideologi politik, dan sebagainya. Hasilnya, adalah masyarakat yang penuh toleransi, tidak terbelah, dan tetap mengakui peranan agama dalam kehidupan sehari-hari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline