Lihat ke Halaman Asli

Satrio Wahono

magister filsafat dan pencinta komik

Menghadirkan Kembali Pancasila

Diperbarui: 10 Januari 2025   17:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Setiap kali menyebut Pancasila, kita menjumpai tragedi betapa pelaksanaan Pancasila masih jauh panggang dari api. Pancasila hanya indah sebagai ideologi di tataran kosmetik, tapi melempem dalam praktik. Bahkan, cendekiawan Franz-Magnis Suseno dalam refleksi 70 tahun Indonesia merdeka sepuluh tahun lalu pada 2015 sempat menyatakan bahwa bangsa ini seyogianya tidak menjadikan Pancasila sekadar sebagai hiasan di dinding.

Jelas, absennya Pancasila dalam tata laku masyarakat kita adalah salah satu pangkal lahirnya banyak masalah: kian rapuhnya rasa nasionalisme, masih maraknya diskursus membangun negara agama, meruyaknya korupsi, hingga tipisnya budaya demokrasi. Tambahan lagi, absennya Pancasila sejatinya telah menciderai pilihan etis para founding persons kita. Yaitu, perlunya nilai-nilai bersama yang menjunjung tinggi martabat manusia, seperti: hak asasi manusia (HAM), kebebasan berekspresi, kemerdekaan beragama, dan lain sebagainya tapi tanpa menggunakan satu landasan metafisika/agama tertentu sebagai titik tolak penataan bangunan hidup berbangsa dan bernegara. Pilihan itulah yang lantas mewujud menjadi jargon terkenal Menteri Agama pertama Orde Baru, Mukti Ali, bahwa ‘Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara sekuler.’

Common Denominator

Dengan kata lain, para pendiri bangsa ini tidak menganjurkan pengutamaan agama tertentu sebagai satu dasar untuk mengarahkan tindakan mencapai cita-cita bangsa. Sebaliknya, pandangan etis mereka mengandaikan adanya percakapan terus menerus sesama warga untuk mencari jalan menuju pemenuhan kebutuhan nilai-nilai kemanusiaan yang dicita-citakan.

Percakapan terus-menerus ini meniscayakan keberadaan satu wahana ‘netral’ di mana semua pihak berada dalam posisi sama guna menjamin percakapan yang fair. Wahana netral itu adalah common denominator (platform bersama) yang memberi semua warga negara akses setara pada proses diskursif seputar masalah publik.

Dalam konteks Indonesia, founding persons kita memilih format negara republik berbasiskan Pancasila sebagai common denominator itu. Di dalam republik (dari kata res publica, kepentingan umum), warga adalah dia yang terlibat secara bebas dan setara dalam praktik mempertahankan kepentingan umum (common good). Sementara itu, posisi netral sebagai syarat keterlibatan bebas dan setara itu dimediasi Pancasila sebagai common denominator. Inilah konsensus yang menjamin semua warga memiliki kesamaan hak dan kewajiban serta tunduk pada supremasi hukum (rule of law).

Beranjak dari sini, Pancasila memiliki dua fungsi: sebagai dasar negara yang menjadi sumber dari segala sumber hukum dan dasar filsafat negara (ideologi, philosofische grondslag) yang memberikan orientasi normatif (baik dan buruk) bagi perilaku berbangsa kita. Sayangnya, sebagian warga negara Indonesia kini justru mulai mengunggulkan nilai dan tafsir keyakinannya sendiri. Artinya, terjadi rasa tidak percaya terhadap proses konstitusional dan hukum ketika beberapa kelompok memperjuangkan aspirasi mereka.

Maka itu, fitrah Pancasila sebagai common denominator harus dihadirkan kembali dalam laku kehidupan warga negara. Solusi konkretnya: mengaktifkan pranata sosialisasi Pancasila. Tujuannya, menanamkan nilai-nilai Pancasila supaya semua warga negara memiliki kesadaran sebagai bagian dari komunitas-warga yang menurut Yudi Latif (Negara Paripurna, Gramedia, 2012) memiliki budaya keadaban (civic culture). Salah satu caranya, kita bisa menghidupkan kembali mata ajar dan kuliah Pancasila dalam paket lebih utuh yang terdiri atas Filsafat Pancasila—atau Etika/Budi Pekerti Pancasila untuk pendidikan dasar—Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn), dan Kepancasilaan (Pancasila virtues) yang merupakan implementasi konkret dari mata ajar Pendidikan Pancasila.

Hanya saja, metoda pengajaran nilai Pancasila itu tidak boleh terlalu doktriner. Sebaliknya, pendidikan Pancasila harus dilakukan secara dialogis sesuai dengan khittah Pancasila sebagai ideologi terbuka yang siap menerima berbagai pengaruh positif dari sumber mana pun (Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila, Gramedia, 1992). Misalnya saja: guru dan anak didik dapat bersama-sama
mendiskusikan bagaimana model ekonomi Pancasila dapat menjadi jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme; bagaimana konsep Ketuhanan yang Maha Esa menjadi titik kompromi antara bentuk negara agama (teokrasi) dan negara sekuler; betapa konsep Otonomi Daerah (Otda) bisa menjembatani konsep negara kesatuan dan federalisme, dan lain sebagainya.

Semoga solusi di atas dapat membuat bangsa Indonesia kian berdaulat, beradab, dan memiliki persatuan yang kuat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline