Lihat ke Halaman Asli

Satrio Wahono

magister filsafat dan pencinta komik

Hedonisme Tidak Selalu Jelek: Mengenal Hedonisme Universal

Diperbarui: 10 Januari 2025   17:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Selama ini, banyak kritik yang mengatakan dunia sedang bergerak ke arah kehidupan  yang materialistis, individualistis dan hedonistis. Manusia tampak manjadi homo homini lupus yang sibuk mengejar kepentingan dirinya sendiri sambil memangsa manusia lain layaknya serigala. Contoh-contoh pun bertebaran: mulai dari saling serobot kendaraan di jalan, korupsi
untuk memperkaya diri pribadi dan menyengsarakan rakyat, hingga praktik ketidakpedulian sosial di mana manusia terlalu berfokus pada dirinya sendiri (egosentris) dan asyik bermewah-mewahan di tengah kemiskinan yang masih merajalela.

Timbullah ungkapan sinis betapa manusia modern kini merupakan penganut hedonisme yang bisanya hanya bersenang-senang. Apalagi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memang mendefinisikan hedonisme sebagai 'pandangan yg menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup.'


Padahal, orang sering melupakan betapa istilah hedonisme itu adalah bagian dari jejaring diskursus serius yang terus ditekuni para etikus. Sebagai satu mazhab, hedonisme tidak sesederhana yang banyak orang kira. Berasal dari kata Yunani, eudomonia, yang berarti
kebahagiaan, hedonisme sejatinya terbagi menjadi dua mazhab. Pertama, hedonisme egoistis yang didefinisikan sebagai hedonisme yang menekankan pada kesenangan dan kebahagiaan individu. Hedonisme ini lantas terpecah lagi menjadi hedonisme aktif dan pasif. Versi yang aktif mengajarkan bahwa hidup baik adalah mengejar kenikmatan, sementara hedonisme pasif mewejangkan bahwa manusia harus berusaha menghindari rasa sakit dan ketidaksenangan. Di kemudian hari, ajaran ini ditafsirkan bahwa
kebahagiaan seyogianya dicapai melalui pemborosan yang berlebih-lebihan. Dan, itulah persepsi umum banyak orang---termasuk akibat definisi KBBI---terhadap kata hedonisme dewasa ini.

Kedua, hedonisme universal. Berbeda dari hedonisme egoistis, hedonisme universal memberikan penekanan pada kebahagiaan bersama. Bagi mazhab kedua ini, perbuatan baik adalah perbuatan yang memberikan kebahagiaan pada sebanyak mungkin orang. Sebagai contoh: spontanitas banyak orang untuk berbondong-bondong memberikan donasi dalam bentuk dana, bahan kebutuhan pokok dan lain sebagainya kepada korban bencana alam adalah bentuk konkret hedonisme universal. Tujuannya hanya satu, yaitu meringankan beban penderitaan sesama manusia guna mendatangkan kebahagiaan di dunia. Secara filosofis, hedonisme universal ini
memiliki simpati sebagai bahan bakarnya.

Konsep simpati inilah elemen kunci etis penting bagi kehidupan manusia. Filsuf Adam Smith dalam Theory of Moral Sentiments (1959) mengatakan bahwa simpati adalah perekat yang menjadikan perekonomian bekerja. Tanpa simpati, orang akan saling menyakiti dan keseluruhan ekologi kehidupan manusia pun tak akan langgeng. Singkat kata, simpati berjalin berkelindan dengan altruisme yang bertujuan membantu orang lain.

Jadi, lewat konsep hedonisme universal, manusia akan menjadi homo socius (makhluk yang mengindahkan sesama) alih-alih serigala pemangsa. Jika konsep hedonisme universal ini bisa tersebar luas ke setiap anak manusia di dunia, niscaya kehidupan era modern yang dingin dan mengidap banyak masalah akut maupun kronis ini akan lebih hangat dan baik di masa depan. Dan, bukankah ini secara ekstrem jauh berbeda dibandingkan makna kata hedonisme---terbatas pada hedonisme egoistis---yang kita kenal selama ini?
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline