Akhirnya, teka-teki soal siapa pengganti pelatih tim nasional Indonesia, Shin Tae Yong (STY), terjawab sudah. Sesuai dengan rumor yang banyak beredar, mantan pemain dan asisten pelatih tim nasional Belanda Patrick Kluivert diumumkan sebagai pengganti STY pada 8 Januari 2025 lalu.
Meski pro dan kontra masih beredar di kalangan masyarakat pencinta bola, saya sebagai sesama pencinta bola berpikir lebih baik kita menerima kenyataan dan mulai menatap masa depan. Maka itu, sebagai sambutan selamat datang untuk coach Kluivert, saya ingin mengingatkan dia dan para stakeholders sepak bola tentang pentingnya seorang pelatih sepak bola menerapkan kepemimpinan gembala dalam kepemimpinannya.
Kepemimpinan profetis
Kepemimpinan gembala merupakan kepemimpinan profetis (bercorak nilai kenabian) yang revolusioner. Ini sesuai dengan fakta unik bahwa setiap nabi ternyata pernah bekerja sebagai penggembala. Istilah ini dikemukakan John Adair, profesor pertama studi kepemimpinan, dalam bukunya berjudul Kepemimpinan Muhammad (Gramedia, 2010). Di dalam buku tersebut, Adair meringkaskan enam ciri kepemimpinan gembala.
Pertama, seorang pemimpin adalah teladan. Kedua, seorang pemimpin harus menjaga kesatuan kawanan, mencapai tujuan bersama, dan memenuhi kebutuhan individu. Ketiga, pemimpin gembala memiliki semangat pelayanan dan bersikap sederhana. Keempat, pemimpin gembala hidup bersama-sama di tengah anak buahnya. Kelima, pemimpin profetis mesti memiliki integritas alias satunya kata dan perbuatan. Keenam, kepemimpinan gembala adalah soal berbuat: aksi nyata lebih penting daripada sekadar kata.
Dalam konteks ini, kita bisa menengok mantan pelatih Manchester United, Alex Ferguson, sebagai perwujudan nyata seorang gembala. Pertama, Sir Alex adalah teladan terhormat di kesebelasan Setan Merah, MU. Saking berkarismanya Sir Alex, semua pemain, termasuk megabintang seperti Cristiano Ronaldo, tetap memanggil Fergie "Bos" walaupun sang pemain sudah berkiprah di klub lain.
Kedua, Sir Alex tidak pernah membiarkan status kebintangan pemain membenamkan sinar pemain lainnya. Barang siapa coba-coba menonjol, dia langsung akan menerima konsekuensi didepak dari klub. David Beckham, Jap Staam, dan lain sebagainya adalah contoh. Karena inilah, status MU sebagai tim yang solid dan punya kolektivitas tinggi terpelihara baik.
Selain itu, Sir Alex selalu konsisten dengan ramuan jitunya menjaga kekompakan tim: menggunakan pemain tua sebagai pembimbing pemain muda. Contohnya, generasi emas Ryan Giggs, David Beckham, Paul Scholes, dan Neville bersaudara yang dibimbing oleh Eric Cantona, Roy Keane, dan Peter Schmeichel. Kemudian, generasi Cristiano Ronaldo yang gantian dibimbing Ryan Giggs dan kawan-kawan. Ini berbeda dengan MU di bawah van Gaal yang minim pemain senior dan penuh pengalaman sebagai "wakil gembala".
Ketiga, Sir Alex adalah jagonya menjalankan mekanisme transfer anti-kemewahan alias sederhana. Alih-alih membeli pemain jadi yang mahal harganya, Fergie lebih memilih pemain dari akademi MU sendiri atau pemain berbandrol relatif murah untuk dipoles lebih jauh. Ambil contoh pembelian gemilang Cristiano Ronaldo dari Sporting Lisbon dengan hanya 15 juta euro pada 2003. Terbukti, Ronaldo menjadi legenda baru MU dan berhasil dilego mahal ke Real Madrid sebesar 94 juta euro pada 2009. Berbeda dengan van Gaal yang silau cara instan merekrut pemain mahal dan bahkan mendepak pemain didikan akademi MU seperti Welbeck.
Keempat, walaupun berkarisma, Sir Alex selalu perhatian kepada pemainnya, melanjutkan tradisi Sir Matt Busby yang sangat dekat dengan anak asuhnya bagaikan anak sendiri, "The Busby Boys". Film dokumenter tentang MU, Beyond the Promised Land (2010), menggambarkan kelebihan Fergie ini, di mana ia sering bermain tebak-tebakan, bahkan ledek-ledekan dengan pemainnya.
Kelima dan keenam, reputasi Sir Alex sudah melegenda sebagai pelatih yang melaksanakan apa yang sudah dikatakannya sekaligus berani mengambil keputusan. Pemecatan pemain bintang yang membangkang lagi-lagi contoh dari kepemimpinan gembala ala Fergie ini.