Belakangan ini, kita sering mendengar kabar muram tentang perekonomian kita. Ini juga ditunjukkan dengan melemahnya sejumlah indikator perekonomian, seperti Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) dan Purchasing Management Index (PMI). Belum lagi fakta terjadinya kenaikan sejumlah bahan pokok. Bahkan, proporsi kelas menengah di Indonesia mulai terkikis seiring menurunnya daya beli dan tergerusnya jumlah tabungan mereka. Data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS menunjukkan pada Juli 2024 proporsi kelas menengah pada struktur penduduk Indonesia hanya mencapai 17,44%, turun dari 21,45% pada 2019.
Pemerintah harus segera berbuat sesuatu untuk mencegah situasi bertambah parah. Kondisi suram saat ini sejatinya adalah buah dari kurangnya komitmen untuk mempraktikkan secara konkret prinsip-prinsip sistem ekonomi Pancasila (SEP). Padahal, jika diimplementasikan secara sungguh-sungguh, prinsip-prinsip SEP bisa menjadi solusi bagi permasalahan kita saat ini.
Definisi ekonomi
Namun, apa sebenarnya prinsip-prinsip SEP yang jika dikonkretkan kemudian menjadi straregi ekonomi Pancasila? Sebelum kita berbicara soal strategi, kita mesti berangkat dulu dari kesepakatan tentang tentang tujuan ekonomi itu sendiri. Menurut David Smith dalam Free Lunch (2003), ada dua definisi umum ekonomi. Pertama, ekonomi sebagai alokasi paling efektif dan efisien sumber daya yang terbatas di tengah permintaan yang saling bersaing. Kedua, ekonomi adalah soal apa yang harus diproduksi, bagaimana memproduksinya, dan kepada siapa hasil produksi itu ditujukan. Melengkapi kedua definisi itu, Herry Priyono dalam Ekonomi Politik (2022) mendefinisikan esensi ekonomi sebagai cara untuk mencukupi kebutuhan hidup. Jadi, strategi ekonomi yang baik haruslah mampu memenuhi ketiga definisi itu.
Selanjutnya, merumuskan strategi ekonomi Pancasila mensyaratkan keselarasan dengan prinsip-prinsip SEP. Menurut Mubyarto dan Boediono dalam Ekonomi Pancasila (1981), dan dilengkapi Sri Edi Swasono dalam Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 (2010), beberapa prinsip SEP adalah: penekanan pada stimulasi moral (terutama agama); desentralisasi ekonomi ke daerah-daerah; penekanan pada kerja sama, bukan kompetisi; penekanan kerja sama tiga aktor ekonomi yaitu koperasi, swasta yang mencakup juga usaha kecil menengah (UKM), dan badan usaha milik negara (BUMN). Semua ciri ini bertujuan meretas jalan tengah dari paham kapitalisme yang terlalu sekular (nirmoral) dan kompetitif maupun paham sosialisme yang terlalu memberikan komando ekonomi kepada Negara.
BUMN sangat memainkan peran strategis dalam SEP karena, merujuk Refly Harun dalam BUMN dalam Hukum Tata Negara (2019), BUMN memiliki tiga fungsi: membantu menciptakan perekonomian nasional yang tangguh; mengejar profit sekaligus benefit bagi publik; dan membimbing UKM dan koperasi. Dengan adanya BUMN, UKM dan koperasi yang sehat, Negara akan mendapatkan laba tidak melulu dari sektor korporat (swasta) besar. Sehingga, Negara akan lebih mandiri dari membuat kebijakan publik yang selalu memihak sektor korporat besar.
Selain itu, SEP mengajarkan bahwa Negara tidak berperan minimal seperti dalam kapitalisme, tapi juga tidak super dominan seperti dalam sosialisme. Negara menjalankan fungsi kesejahteraan sosial (welfare state), utamanya yang bermodel universal. Menurut Darmawan Triwibowo dalam Kesejahteraan Sosial (2006), model universal adalah model yang memberikan jaminan sosial secara merata tanpa terkecuali. Namun, model ideal ini memang mensyaratkan pendapatan per kapita dan rasio pajak yang tinggi.
Strategi komprehensif
Dari kerangka di atas, kita bisa merumuskan konkretisasi SEP berupa strategi ekonomi Pancasila sebagai berikut. Pertama, pemenuhan definisi ekonomi sebagai alokasi efektif dan efisien sumber daya berarti mensyaratkan pengelolaan ekonomi secara berkelanjutan (sustainable economy), yaitu ekonomi yang berurusan dengan penggunaan bijak sumber daya alam. Penggarapan ekonomi hijau (green economy) yang ramah lingkungan dan ekonomi biru (blue economy) yang berbasis sumber daya kelautan menjadi keharusan. Ini lantas dibarengi dengan sikap moral ekonomi-cukup dari para warga negara yang mewujud dalam perilaku hemat dan tidak berlebihan menumpuk harta. Juga, sikap moral hemat dari Negara untuk tidak berfokus pada proyek mercusuar infrastruktur yang menghabiskan anggaran tak perlu.
Kedua, terkait apa yang harus diproduksi, pemerintah harus fokus pada sektor yang menciptakan profit (laba) maupun benefit (manfaat) bagi masyarakat, Negara, maupun komunitas internasional. Sektor-sektor seperti ekonomi kreatif, pertanian, pariwisata, manufaktur (pengolahan), dan sebagainya patut menjadi andalan karena bersifat padat-karya, berkontribusi pada inisiatif swasembada (self-sufficiency), dan menciptakan nilai-tambah. Adapun semua kegiatan produksi itu mesti ditujukan hanya untuk memenuhi kepentingan rakyat.
Sementara soal bagaimana memproduksinya, pemerintah harus memprioritaskan kegiatan produksi untuk swasembada kebutuhan pokok masyarakat alias meminimalkan impor seraya menggiatkan sektor pengolahan secara integratif. Pemerintah pun wajib menciptakan iklim yang kondusif demi terciptanya hubungan harmonis antara swasta, BUMN/Badan Usaha Milik Desa (BUMD)/Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan koperasi. Tak kalah pentingnya, pemerintah mesti memberikan insentif berusaha, kemudahan berbisnis (pelonggaran birokrasi), iklim investasi yang aman, dan penegakan hukum yang baik demi mendorong inisiatif kewirausahaan serta mengundang masuknya investasi.