Di tengah perubahan zaman dan teknologi yang kian pesat, umat manusia menjadi semakin kritis. Ciri peradaban modern yang bersendikan akal budi atau rasionalitas membuat manusia mempertanyakan segala sesuatu yang sebelumnya diterima begitu saja (taken for granted). Adapun salah satu hal yang dipertanyakan oleh sebagian manusia modern, termasuk di Indonesia, adalah eksistensi Tuhan. Mempertanyakan eksistensi Tuhan bagi sekalangan orang terkesan keren dan edgy (berani karena menyerempet-nyerempet hal yang sensitif layaknya berada di tebir jurang). Sebab, gugatan itu seolah ikut menggugat tradisi iman yang sangat menjunjung tinggi penyembahan kepada sesuatu yang sakral, memesona, sekaligus menggentarkan (fascinans et tremendum) seperti Tuhan. Singkat kata, para penggugat Tuhan seakan ingin mencitrakan diri sebagai pemegang obor era modern yang mengutamakan rasio vis--vis sentimen emosional-imani kaum beragama.
Sebagai warga negara Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan yang Maha Esa, manusia Indonesia semestinya ikut urun rembuk dalam mencari argumentasi rasional yang bisa membenarkan eksistensi Tuhan. Dan, hal ini sebenarnya tidak sukar mengingat kaum beriman sejatinya memiliki tradisi rasional yang kaya dalam menjustifikasi iman mereka.
Dua argumentasi
Setidaknya ada dua argumentasi rasional yang bisa diajukan untuk mempertahankan eksistensi Tuhan. Pertama, argumentasi kesesatan logika (logical fallacy). Maksudnya, keberatan terhadap eksistensi Tuhan bisa disangkal lewat aturan silogisme. Sering sekali dikemukakan oleh para penjunjung tinggi rasio yang mengkritik eksistensi Tuhan bahwa segala sesuatu yang tidak bisa ditangkap secara inderawi tidaklah ada (eksis). Nah, karena Tuhan tidak bisa ditangkap secara inderawi, itu berarti Tuhan tidak ada. Kalau kita lihat, argumentasi ini sebenarnya mengandaikan satu silogisme yang terdiri dari dua premis---mayor dan minor---plus satu konklusi. Premis mayor universalnya adalah "Segala sesuatu (semua) yang tak bisa ditangkap secara inderawi adalah tidak ada." Kemudian, premis minor partikular yang menyusul adalah, "Tuhan tidak bisa ditangkap secara inderawi." Penutup dari dua premis tersebut adalah berupa konklusi, "Maka, Tuhan berarti tidak ada."
Di sini, terjadi kekeliruan logika atau logical fallacy dalam silogisme penentang Tuhan di atas. Sebab, salah satu syarat utama dari silogisme yang sahih adalah kedua premis tidak boleh sama-sama negatif (Mundiri, Logika, Rajawali, 2000). Jika kedua premis negatif, itu berarti kesimpulan tidak bisa diambil. Kita lihat dalam silogisme di atas betapa kedua premisnya bersifat negatif karena sama-sama mengandung kata 'tidak' di sana. Artinya, silogisme itu keliru dan tidak bisa dipakai untuk membantah eksistensi Tuhan.
Kedua, argumentasi tentang kejahatan sebagai bukti bahwa Tuhan itu tidak ada. Logika seperti ini beranggapan bahwa menjamurnya kejahatan dan penderitaan di dunia adalah bukti bahwa Tuhan tidak adil dalam menciptakan tatanan dunia. Harusnya, demikian logika ini berlanjut, Tuhan menciptakan dunia senantiasa damai dan dipenuhi dengan kebaikan. Pada titik inilah, filsuf Islam Murtadha Muthahhari memberikan bantahan logisnya (Keadilan Ilahi, Mizan, 2009). Menurut Muthahhari, kejahatan justru penting sebagai instrumen bagi terwujudnya keadilan Tuhan di bumi. Sebab, dari segi esensial, kejahatan bukanlah esensi yang mandiri, melainkan noneksistensi dari esensi sempurna berupa kebaikan. Gampangnya, noneksistensi adalah hilangnya esensi dari satu benda. Sebagai contoh, kebutaan adalah hilangnya penglihatan, pembunuhan adalah hilangnya kasih sayang terhadap orang lain, kemiskinan adalah hilangnya harta, dan seterusnya. Jadi, kebutaan bukanlah 'jahat' atau 'tidak adil' secara esensi, melainkan kondisi 'belum memiliki esensi kebaikan'. Dengan kata lain, noneksistensi ini tidaklah mengurangi esensi hakiki kebaikan. Sebaliknya, kondisi noneksistensi inilah yang harus disempurnakan supaya bisa meraih esensi kebaikan.
Selanjutnya dari segi relasional, kejahatan memang diperlukan untuk menampakkan kebaikan. Jadi, noneksistensi-kejahatan adalah sarana bagi manusia untuk mengetahui kebaikan. Bayangkan saja, jika segala sesuatu diciptakan sama, tentu tidak ada kategori 'berbeda' karena toh semuanya sama. Misalnya saja, jika dunia ini terdiri dari manusia yang berwajah sama, tentu manusia tidak akan lagi mengenal konsep cantik/tampan dan buruk rupa. Sebab, semuanya sama saja. Alhasil, kejahatan berguna untuk menunjukkan manusia kepada jalan kebaikan.
Jalan pikir ini juga yang digunakan Socrates beribu-ribu tahun lalu dalam membuktikan keberadaan akhirat sekaligus Tuhan. Saat hendak dieksekusi, dia berkata, "Kita menyaksikan hal-hal berlawanan di alam ini: keadilan dan kezaliman, tidur dan terjaga, kekuatan dan kelemahan, kematian dan kehidupan, ada dan tiada. Dengan bukti ini, setelah kematian, pastilah ada alam kehidupan lain." Pendek kata, jika kita menafsirkan kalimat Socrates tersebut, pastilah ada Tuhan yang menyambut kita setelah kematian. Begitulah rangkaian argumen filosofis keberadaan Tuhan yang mesti dikaji oleh manusia modern saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H