Ajang pembuktian Jokowi bisa tegas kepada Ahok akan ditentukan tanggal 11 Februari mendatang. Saat dimana masa cuti kampanye Ahok di Pilgub DKI Jakarta sudah selesai, dan dia bisa kembali menjabat sebagai Gubernur. Selama ini Jokowi terkesan oleh publik agak lunak kepada Ahok, terlihat dari selama ini Jokowi sepertinya belum pernah mengatakan penistaan agama bisa memecah belah bangsa.
Terkait dengan pemberhentian Ahok, berdasarkan Pasal 83 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 menjelaskan, kepala daerah harus diberhentikan sementara ketika berstatus terdakwa. Artinya, dengan posisinya sebagai terdakwa saat ini, maka Jokowi sebagai Presiden harus memberhentikan sementara Ahok.
Namun ada yang ganjil dari pernyataan Mendagri beberapa waktu yang lalu. Mendagri, Tjahjo Kumolo mengatakan belum akan menonaktifkan Ahok karena dirinya berpegang pada aturan Pasal 83 UU No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Ia memaknai ketentuan tersebut bentuknya berupa tuntutan jaksa, bukan ancaman penjaranya.
Pernyataan Mendagri tersebut berbeda dengan yang dia ucapkan pada bulan Desember 2016 yang lalu. Tjahjo Kumolo mengatakan, pemberhentian sementara terhadap Ahok dilakukan setelah masa cuti kampanye yang dijalaninya berakhir.
Hal ini disampaikan Tjahjo terkait status Ahok sebagai terdakwa dalam kasus dugaan peniodaan agama. "Sekarang ini kan petahana (Ahok) lagi cuti. Berarti kan sedang tidak menjabat. Nah begitu (setelah masa) cutinya habis, baru akan diberhentikan," ujar Tjahjo, di Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Jumat (16/12/2016).
Ucapan Mendagri juga disindir oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof. Mahfud MD. Dia mengatakan alasan pemberhentian Ahok dengan menunggu tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak berlandaskan hukum. Sebab, secara terang Pasal 83 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 menjelaskan, kepala daerah harus diberhentikan sementara ketika berstatus terdakwa.
"Tidak ada instrumen hukum lain yang bisa membenarkan Ahok itu menjadi gubernur kembali tanpa mencabut itu (Pasal 83). Karena UU-nya jelas bunyinya, bukan tuntutan seperti dikatakan Mendagri,” tegas Mahfud, Kamis (9/2/2017).
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menilai sikap Mendagri terhadap Ahok merupakan sikap yang diskriminatif. Dengan status Ahok menjadi terdakwa dan ancaman hukuman lima tahun semestinya Mendagri dapat segera menonaktifkan dari jabatannya. "Seorang pejabat dari Pemerintah daerah yang berstatus terdakwa harusnya dia dinonaktifkan, begitu perintah UU," ujar Fadli Zon di Gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Kamis (9/2/2017).
Dia mengkritik logika yang dibangun Mendagri yang menyebutkan akan memberhentikan sementara Ahok bila sudah terdapat tuntutan dari Jaksa. Ia menilai sikap Mendagri justru mengesankan membela Ahok. "Loh, kan statusnya sudah dinyatakan pengadilan. Dari status saja, jangan nanti terkesan Mendagri membela, karena kebetulan kawannya," kritik Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini. Fadli menyebutkan jika Mendagri tidak mematuhi aturan tersebut konsekwensinya hukumnya Mendagri akan melanggar UU.
Berubahnya sikap Mendagri memunculkan pertanyaan, apakah ada instruksi dari Jokowi atau PDI P sebagai partai pengusung Ahok di Pilkada DKI Jakarta. Jika Jokowi masih bersikukuh untuk mempertahankan Ahok, maka publik akan semakin memberikan penilaian kalau Jokowi tidak tegas dan berpihak kepada Ahok.
Selain melanggar UU, pengembalian mandat kepada Ahok dapat menimbulkan kecurigaan kalau Ahok akan memanfaatkan kewenangannya sebagai Gubernur saat pencoblosan pada tanggal 15 Februari.