Media massa adalah buah dari demokrasi. Eksistensinya adalah sebagai bukti bahwa HAM yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat terjaga dengan baik. Media massa sebagai corong suara rakyat berperan besar dalam mengontrol jalannya pemerintahan sekaligus sebagai penyeimbang kekuasaan elit-elit partai politik yang ada. Namun selain memberikan dampak positif, ternyata media massa juga memberikan dampak negative dalam kehidupan berdemokrasi itu sendiri. Ada potensi ancaman yang sangat besar yang dapat merusak kehidupan bermasyarakat dan Negara.
Sepertihalnya ancaman KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang berasal dari perkawinan antara penguasa ekonomi dengan penguasa politik, perkawinan antara penguasa media dengan penguasa politik melahirkan ancaman yang jauh lebih besar. Bukan sekedar nilai materil kerugian Negara, melainkan nilai imateril kerugian bagi negara maupun rakyatnya. Tidak ada idealisme atas nama rakyat dalam perkawinan tersebut (untuk memppersingkat istilah kita sebut saja kongkalikong media). Karena perkawinan tersebut muncul akibat ambisi dan kepentingan konglomerasi. Media massa yang seharusnya berperan sebagai control pemerintah justru dimanfaatkan sebagai senjata ampuh untuk melanggengkan ataupun memuluskan kekuasaan dan kepentingan mereka.
Apa yang menjadi penyebab awal perkawinan kongkalikong media adalah adanya kepentingan untuk berpengaruh lebih atas jalannya pemerintahan. System pemerintahan saat ini sangat lekat dengan system kepartaian. dimana partai adalah satu-satunya akses masuk untuk meuju kekuasaan pemerintahan. System pengkaderan partai yang memprioritaskan orang partai untuk duduk di kursi pemerintahan semakin mempersulit orang luar untuk duduk di kursi pemerintahan. Karena itulah satu-satunya jalan dan harapan adalah melalui tokoh independent yang sama sekali tidak berkaitan dengan system kepartaian
Munculnya sosok independent yang diharapkan sebagai pemecah monopoli kekuasaan partai justru membuat masalah tersendiri. Terutama ketika kedua kubu masing-masing membawa kepentingan yang berbeda dan bertolak belakang. Bagaimanapun juga system pemerintahan saat ini menempatkan elit partai (DPRD) sebagai pengontrol pemerintah. Baik pemimpin independent maupun elit partai memiliki basis massa (suara pemilih) yang berbeda. Sehingga potensi konflik yang terburuk bukanlah pertikaian antara dua kubu yang sama-sama mengklaim atas nama dan didukung oleh rakyat, dan berimbas pada jalannya pemerintahan. Melainkan pertikaian diantara masyarakat itu sendiri antara pendukung dua kubu tersebut yang berpotensi memecah belah dan mengkotak-kotakan masyarakat
Pemimpin independent yang berperan sebagai agen penguasa media untuk menembus akses ke pemerintahan mendapat dukungan penuh dari konglomerasi penguasa media berita. Dalam rangka menjaga eksistensi dan memberikan perlawanan terhadap tekanan dan serangan elit politik partai, seringkali dukungan tersebut cenderung bersifat menghalalkan segala cara dan melabrak batasan-batasan kode etis jurnalis yang menjadi idealisme mereka. Upaya kotor dalam rangka memoles dan mencitrakan pemimpin agen penguasa media sekaligus menjadikan elit-elit partai sebagai public enemy jelas-jelas bertentangan dengan prinsip obyektifitas dalam jurnalisme.
Upaya tersebut cukup sukses dalam menghasut opini masyarakat untuk mendukung atau memusuhi pihak tertentu. Siapapun yang mereka dukung akan dicitrakan sebagai sosok yang bersih, jujur, anti korupsi, tegas, dan populer, disisi lain mereka selalu menutupi sisi buruk orang tersebut, dengan memanipulasi atau rekayasa halus penggiringan opini public. Sedangkan yang menjadi lawan politik mereka akan dicitrakan sebagai sosok yang korup, sewenang-wenang, culas, oportunis, dan dimusuhi oleh banyak pihak, disisi lain setiap kelebihan dan prestasi yang dimiliki selalu ditutupi dan disederhanakan dalam pemberitaan
Upaya pembunuhan karakter lawan politik sangat membahayakan demokrasi. Karena hal tersebut tidak jauh berbeda dengan blackcampaign yang dapat merusak semangat keadilan dan sportivitas dalam berpolitik. Rekayasa opini juga membuat masyarakat kesulitan dalam menilai sosok pemimpin yang akan mereka pilih, akibat dari bias dan ketiadaan informasi yang benar mengenai sosok pemimpin tersebut.Yang terburuk adalah bergesernya nilai-nilai dan standar ideal dari seseorang pemimpin. Yang dilakukan sekedar untuk menyesuaikan dan membenarkan karakter pemimpin yang mereka citrakan sebagai sosok yang ideal.
Pencitraan yang dapat disebut juga sebagai provokasi positif dapat menciptakan fanatisme berlebihan dalam menilai sosok yang dianggap tidak pernah berbuat salah. Terlebih dengan berbagai rekayasa pembenaran media berita yang tidak ubahnya sebagai penipuan publik menciptakan pro dan kontra masyarakat mengenai wujud asli dari sosok tersebut. Ketika idealisme bertemu dengan fanatisme membuat masyarakat semakin terpecah belah dan bermusuhan dalam perdebatan yang sengit. Dan pada akhirnya penipuan dan rekayasa akan melahirkan sikap apatis dan sinis masyarakat yang sekali lagi dapat melahirkan permusuhan diantara pendukung dua kubu.
Dapat disimpulkan, setidaknya ada lima bahaya dan ancaman besar dari perkawinan atau kongkalikong elit politik dengan elite media dalam berdemokrasi. Yaitu, (1) tidak sehatnya iklim demokrasi yang berkaitan dengan hak berpendapat dan berekspresi karena pemberitaan media telah menjadi subyektif, bias, tidak adil, dan tendensius, (2) merusak tatanan tradisi dan budaya berpolitik yang telah terpelihara dengan baik, (3) menciptakan permusuhan diantara pemimpin dan elit politik yang dapat mengganggu efektifitas jalannya pemerintah, (4) gagalnya system pemilihan dalam melahirkan pemimpin yang benar-benar berkualitas dan berintegritas, (5) Dan semakin memperuncing permusuhan dan menghilangnya daya kritis dan kedewasaan masyarakat dalam menilai seorang pemimpin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H