[caption caption="Sumber Gambar: 1. Ahok: cdn.tmpo.co; 2. Sandiaga: cdn1-a.production.liputan6.static6.com"][/caption]Tanggal pemilihan Gubernur DKI Jakarta tinggal kurang dari setahun lagi, yaitu 15 Februari 2017, sehingga wajar apabila para bakal calon yang potensial sudah mulai berebut panggung menabung elektabilitas. Beberapa pesohor juga ikut menampilkan diri atau ditampilkan sebagai goro-goro (tampilnya para punakawan Semar, Gareng, Petruk dan Bagong sebelum terjadinya perang) sehingga menambah hiruk-pikuk dan sensasi pesta demokrasi ini. Artikel ini akan fokus pada para pemeran utama bakal calon gubernur yang ada meskipun dalam politik tak ada yang tak mungkin, segalanya dinamis dari waktu ke waktu, dengan aneka kejutannya.
Ahok independen atau diusung PDI-P?
Ahok adalah petahana yang akan maju lagi dan menurut berbagai survei memiliki popularitas dan elektabilitas tertinggi. Ia tidak memiliki kendaraan berupa partai politik tapi telah memiliki dukungan warga berikut fotokopi KTP yang cukup untuk memenuhi persyaratan maju sebagai calon perorangan atau independen, yaitu minimal 532.213 dukungan warga. Ahok paham betul, apabila ia maju sebagai calon yang diusung partai nomor satu seperti PDI-P, langkahnya menjadi DKI-1 periode kedua akan menjadi jauh lebih lancar. Namun, akankah ia memperoleh restu Megawati itu?
Meskipun belum ada kepastian jadwal, diperkirakan pasangan calon perseorangan atau independen sudah harus menyerahkan dukungan suara masyarakat yang diperolehnya pada tanggal 1-8 Agustus 2016. Pada saat itu nama calon wakil gubernur sudah harus terisi dalam formulir B1-KWK Perseorangan yang disetorkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta. Pada saat ini, dalam formulir TA.1-TMN AHOK yang akan menjadi lampiran B1-KWK, nama calon gubernur sengaja dikosongkan (tertulis: "Tidak perlu diisi") karena memang belum ada calon resminya. Meskipun prosedur itu (mengisi nama calon wakil gubernur belakangan) belum ditemukan melanggar aturan tetapi rawan gugatan.
Oleh karena itu, Ahok ingin bermain aman dan mempertimbangkan untuk mengulangi pengisian formulir dukungan dengan sudah mengikutsertakan nama wakil gubernur. Karenanya pula, Ahok mendesak agar kalau bisa dalam waktu seminggu PDI-P sudah mengabulkan permintaannya, yaitu memberikan izin Djarot Saiful Hidayat sebagai calon Wakil Gubernur DKI Jakarta 2017-2024. Apabila PDI-P tidak mengabulkan permintaannya, Ahok mengatakan akan meminta Heru Budi Hartono, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI Jakarta, menjadi calon wakilnya.
Ahok telah merasa cocok dengan Djarot, dan Djarot pun bersedia dipinang Ahok asalkan mendapat restu dari DPP PDI-P (baca: Megawati). Waktu sudah mendesak, tapi permintaan Ahok malah bisa membuat PDI-P berang. Berbeda dengan gaya Jokowi yang terkenal dengan gaya "ora mikir"-nya, Ahok membuka pendapatnya ke publik meski itu memberi tekanan kepada PDI-P. Partai yang satu ini terkenal suka menahan kartunya, tidak cepat-cepat dibuka sampai mendekati batas waktu. Ganjar Pranowo, Jokowi, Rieke Diah Pitaloka, dan Tri Rismaharini pernah mengalami dan bisa mengikuti skenario Megawati.
Menyikapi desakan Ahok, PDI-P mulai gerah, partai tidak mau diatur-atur oleh calon, partai punya aturan dan prosedur, semua calon harus dievaluasi dulu kelayakan dan kepatutannya, kata mereka. Ahok tidak bisa meletakkan kaki di dua perahu, independen dan diusung parpol; pilih salah satu, kata mereka lebih lanjut. Untuk ukuran parpol memang tekanan waktunya berbeda, diperkirakan waktu pendaftaran pasangan calon adalah 25-27 September 2016 (kepastian tanggal, menunggu keputusan resmi KPU). Masih lama...
PDI-P tentu saja paham bahwa Ahok dalam keadaan terjepit waktu, tapi PDI-P justru ingin memanfaatkan keadaan, juga tidak mau dimanfaatkan Ahok. PDI-P ingin meningkatkan posisi tawarnya, yaitu agar Ahok 100% maju sebagai petugas partai dengan menandatangani pakta integrasi dan membuang jauh-jauh embel-embel independen. Ahok yang independen dijamin akan benar-benar independen alias tidak bisa diatur partai yang pasti punya kepentingan sendiri.
PDI-P hapal betul rekam jejak Ahok yang telah tega meninggalkan partai-partai Perhimpunan Indonesia Baru, Golkar, dan Gerindra demi peningkatan karier pribadinya. Sebaliknya, bagi Ahok untuk mempercayai PDI-P 100% dengan hanya menunggu keputusan PDI-P tanpa tetap memiliki dan merawat sekoci jalur independen adalah sama saja dengan menyerahkan lehernya sambil mengharap-harapkan burung yang sedang terbang. Ahok bisa belajar dari kasus mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Rustriningsih.
Lawan Ahok
Melihat peta politik di DKI Jakarta saat ini, paling sedikit ada dua kubu parpol kuat. Pertama adalah PDI-P (28 kursi DPRD), kedua adalah koalisi Gerindra (15 kursi) dan PKS (11 kursi). Untuk bisa mengusung pasangan calon, (gabungan) parpol harus memiliki minimal 21 kursi (20% dari 106 kursi) di DPRD. Parpol-parpol lain bisa mengutub ke kedua kubu kuat ini, atau mengusung calon lain lagi. Pasangan calon independen pun masih mungkin tampil.
Apabila PDI-P mengizinkan Djarot menjadi wakilnya Ahok, maka pasangan Ahok-Djarot ini adalah pasangan terkuat yang bisa mendorong terpolarisasinya kekuatan non-Ahok untuk bersatu melawan mereka. Dalam hal ini lawan Ahok-Djarot adalah pasangan yang diusung Gerindra-PKS. Siapakah mereka?
Jawabannya ada di kantong Prabowo Subianto. Ada banyak nama muncul, baik sebagai calon serius, pendamping, penggembira, atau bahkan sebagai kamuflase. Dari nama-nama itu, yang relevan untuk di bahas di sini hanyalah Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno, Adhyaksa Dault, dan Triwisaksana Sani.