Lihat ke Halaman Asli

Suyito Basuki

TERVERIFIKASI

Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

"Dilah Kasukman" Renungan Harian Bahasa Jawa, Sangat Diminati Pembacanya

Diperbarui: 2 Agustus 2024   12:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Renungan Dilah Kasukman Edisi No. 8/ VI-Agustus 2024 (dokumen pribadi) 

"Dilah Kasukman" Renungan Harian Bahasa Jawa, Sangat Diminati Pembacanya

Oleh: Suyito Basuki

Dilah Kasukman adalah sebuah buku renungan harian berbahasa Jawa terbitan Lembaga Pekabaran Injil Sinode (LPIS) Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ).  Meski tertatih karena dengan berbagai hal seperti keterbatasan pendanaan, kesediaan naskah, peralatan dan lain-lain, Dilah Kasukman di tahun 2024 ini mencapai usia 6 tahun jalan.  Terbit setiap bulan sekali, dalam kurun waktu usia anak TK atau SD kelas 1 itu bukanlah perkara yang mudah bagi pengelolanya.

Karena keterbatasan dana, para penulis bersabar untuk menerima honorarium mereka.  Kebijakan yang dijalankan redaksi, penulis akan diberi honorarium setelah tulisan mereka tayang 50 buah.  Kalau misal seorang penulis mengirim tulisan perbulannya 5 buah, maka baru sepuluh bulan kemudian dia akan menerima jerih lelahnya.  Ada juga penulis yang hanya bisa mengirim 2 buah tulisan setiap bulannya mungkin baru tahun ketiga ia bisa menerima jerih lelahnya.

Donasi Berhenti 

Pada tahun 2017 dan 2018, selama hampir satu tahun ada pengusaha komputer yang bersedia menjadi sponsor untuk para penulis, setiap bulannya memberi donasi 1 juta rupiah, sehingga agak lumayanlah honorarium para penulis.  Namun dengan beberapa alasan akhirnya donasi itu terhenti.  Untunglah semua rekan penulis renungan bekerja bukan karena materi tetapi karena idealisme.  Idealisme yang saya tangkap adalah antara lain bahwa mereka ingin berjuang melalui kemampuan menulis agar bahasa Jawa tetap eksis baik di kalangan penulis maupun pembaca.  Memang, secara umum, bahasa yang tidak digunakan secara tutur dan tulisan, maka bahasa itu akan terancam kepunahannya.  Kesadaran itulah yang membuat para penulis gigih dalam kepenulisannya.

Karena keterbatasan dana pula maka kami tidak bisa mencetak berlebihan oplahnya.  Kami hanya berhenti di kisaran maksimal 1000 eksemplar di setiap penerbitan.  Sementara sebetulnya anggota jemaat sinode kami berkisar 50.000 orang meliputi yang tinggal di Jawa dan Sumatra. Masih jauh panggang dari api memang, tetapi itulah kemampuan yang bisa dilakukan.

Meski demikian, hasil produksi kami menurut hemat saya sangat bagus.  Saya bandingkan dengan buku renungan harian terbitan lembaga yang profesional, maka terbitan kami tidak kalah mutunya.  Lay out maupun covernya bagus.  Saya sebelumnya pernah juga mengirim tulisan ke lembaga yang menerbitkan renungan harian berbahasa Indonesia, sehingga bisa membandingkannya.

Pejuang Bahasa

 Saya menyebut para penulis Dilah Kasukman dan para penulis di media lain yang menggunakan bahasa Jawa dalam penulisannya adalah para pejuang bahasa.  Mengapa demikian?  Tidak semua penulis yang berlatar belakangkan Suku Jawa bisa menulis dengan tertib menggunakan bahasa Jawa.  Mereka rata-rata lebih suka menulis dengan bahasa Indonesia karena pertimbangan kebiasaan penggunaan kata dan kemudahan struktur bahasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline