Oleh: Suyito Basuki
Dikabarkan pelukis senior Djoko Pekik meninggal dalam usia 85 tahun di Yogyakarta. Berita itu dikabarkan pertama kali oleh sutradara film Garin Nugroho Riyanto melalui akun pribadi instagramnya dan seniman Jogja, Butet Kartaredjasa. Djoko Pekik meninggal Sabtu 12 Agustus 2023 hari yang lalu. (Sumber)
Tentu saja berita meninggalnya seniman lukis Djoko Pekik ini menyembulkan rasa duka di kalangan seniman Jogja, karena seorang seniman lukis yang fenomenal telah berpulang ke haribaan Yang Maha Kuasa.
Dikatakan fenomenal karena kreativitas lukis yang Djoko Pekik kerjakan ini tidak seperti seniman lukis pada umumnya. Djoko Pekik dalam hal ini berani keluar dari zona aman seniman-seniman lukis lainnya saat dia berpameran tunggal di Bentara Budaya 1998 yang lalu.
Harga Satu Milyar
Saat berpameran tunggal di gedung Bentara Budaya Yogyakarta, 1998 yang lalu, saya sempat datang melihat pameran lukisnya. Saat itu saya merasakan situasi yang unik. Unik karena pameran lukis hanya menyanjikan satu lukisan dengan judul "Berburu Celeng."
Jadi dalam satu ruangan di Bentara Budaya Yogyakarta yang cukup luas itu hanya tersaji satu (1) buah lukisan dengan kursi kayu panjang, kalau tidak salah kursi itu dari satu batang kayu yang ditatah sehingga menyerupai kursi panjang dengan ditambah kayu-kayu sebagai kaki-kakinya.
Di kursi panjang itu, duduk Djoko Pekik yang saat itu berambut putih gondrong dan berjanggut yang kurang beraturan. Dengan sedikit senyum memberikan keterangan kepada rekan-rekan seniman yang bertanya ini itu kepadanya. Penonton berada di sekeliling lukisan dengan mengamat-amati lukisan "Berburu Celeng" yang berukuran cukup besar 275 x 450 cm itu.
Lukisan "Berburu Celeng" itu banyak pengamat yang menafsirkan bahwa lukisan itu untuk menggambarkan penguasa Orde Baru pada masa itu. Pameran lukisan itu berlangsung tak lama setelah pemerintahan Presiden Soeharto dilengserkan oleh gerakan mahasiswa.
Lukisan itu terdapat beberapa obyek, yakni orang menggotong celeng besar dengan pikulan, kemudian di depannya ada orang-orang pemain reog yang menari juga seniman seniwati, latar belakang lukisan itu lautan manusia dan sebuah jembatan yang menurut pengamat, itu adalah simbol Presiden Soeharto yang disebut sebagai Bapak Pembangunan pada masa-masa pemerintahannya itu.