Kegandrungan Masyarakat pada Kiamat Ajaran Eskatologi
Oleh: Suyito Basuki
Kepada anakku yang bekerja di sebuah klinik kesehatan di kota Ponorogo Jawa Timur aku menelpon,"Mas kamu tahu ada masyarakat di daerah Watubonang Ponorogo menjual rumah, tanah, ternah dengan kandangnya dengan harga murah?"
Yuniorku yang baru Februari kemarin mulai bekerja menjawab,"Tidak tahu pah." Mungkin karena sibuk bekerja atau tempat pekerjaan dan kosnya berada di tengah kota, sedangkan daerah Watubonang yang terletak di Kecamatan Badegan itu berada agak jauh dari pusat kota Ponorogo. Sebelum sampai di Badegan harus melewati Kecamatan Kauman lebih dahulu. Kecamatan Badegan bersanding dengan Kecamatan Kismantoro Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah "Papa tahu dari mana?" dia malah balik bertanya.
"Dari you tube kompastv," kataku. "Katanya rumah yang seharga 150 juta dijual cuma 30 juta. Sapi beserta kandangnya dijual hanya 8 juta. Mereka yang menjual harta bendanya kemudian pergi ke sebuah pondok pesantren di kota Malang," lanjutku memberikan penjelasan.
Aku kemudian memulung berita dari beberapa penerbitan yang memuat dan terkait dengan peristiwa itu, kubagi berita itu dalam empat bagian bahsan: 1. Warga yang menjual rumah tanah miliknya; 2. Menyongsong meteor Jatuh; 3. Peristiwa semacam ini pernah terjadi; 4. Plus minusnya ajaran eskatologi.
Warga Menjual Rumah Tanah Miliknya
Selain you tube kompastv yang ternyata sudah tayang 14 dan 25 Maret 2019 memberitakan adanya warga Watubonang yang menjual harta miliknya, solopos.com (14 Maret 2022) juga memberitakan hal yang sama. Menurut solopos.com, kabar warga Desa Watubonang, Kecamatan Badegan Kabupaten Ponorogo itu bukan isapan jempol, tetapi memang nyata. Seorang yang menjual rumahnya menurut catatan solopos.com adalah Marimun, warga RT 004/ RW 001 Dusun Krajan, Desa Watubonang ini menjual rumah berukuran 5 meter x 10 meter yang terbuat dari kayu dan triplek ini. Menurut informasi, rumah dengan tipe seperti itu harganya berkisar 30 juta. Tetapi oleh Marimun dijual hanya 20 juta. Menurut sumber, uang tersebut digunakan untuk biaya hidup selama berada di pondok pesantren Malang.
Selain Marimun, menurut investigasi solopos.com, ada lagi yang menjual harta milik rumah tanahnya untuk biaya hidup di pondok pesantren. Sehingga total ada 4 warga yang menjual harta milik rumah tanahnya, selain itu juga ada yang menjual kendaraan, ternak dan barang berharga lainnya. Adapun warga yang disebut bedol desa meninggalkan desa Watubonang itu ada 16 keluarga yang terdiri dari 52 jiwa.
Menurut Ipong Muchlissoni Bupati Ponorogo, sebagaimana dikutip dari bbc.com (14 Maret 2022) ke- 52 warga tersebut mayoritas bekerja sebagai petani serta merupakan jemaah Thoriqoh Musa yang di desanya dipimpin oleh seorang warga yang bernama Khotimun. Mereka, kata bupati, pergi ke Malang dalam rangka menyelamatkan diri dari apa yang mereka percayai sebagai hari kiamat. Mereka hendak hidup di Pondok Pesantren (Ponpes) Miftahul Falahil Mubtadin di Desa Sukosari, Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang, mengikuti Khotimun, guru mereka yang sudah berada di pondok tersebut. Menurut Ipong Muchlissoni lebih lanjut, warga pergi ke Malang pada saat subuh dengan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi. Ada warga yang sebelumnya menjual rumahnya dengan harga 110 juta rupiah.