Belajar di Mindanao Peacebuliding Institute Filipina, Para Pengajarnya Top Markotop
Oleh: Suyito Basuki
Tanggal 13 Mei-3 Juni 2017 yang lalu saya berkesempatan mengikuti training perdamaian di Mindanao Peacebuliding Institute (MPI). Kami berempat, saya (Jepara), Pdt. Herin K.Hadijaya (Kudus), Najahan Musyawak (Semarang), dan Anas Aijudin (Solo) berangkat ke Davao Filipina dengan sponsor Mennonite Central Commite (MCC).
Saya dan Pdt. Herin mewakili sinode gereja kami yakni Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ). Najahan dan Anas mewakili bidang akademik. Najahan mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, sementara Anas mengajar di UIN Solo dan pengasuh sebuah pondok pesantren di Karanganyar. Kedua rekan ini memiliki gelar akademis sebagai doktor sekarang ini.
Rute perjalanan dari bandara Ahmad Yani Semarang, kami ke Jakarta. Setelah dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta kami ke taransit ke bandara udara Internasional Ninoy Aquino Manila.
Dari Bandara Manila baru kemudian kami ke Bandara Internasional Fransisco Bangoy Davao. Sesampai di Davao, kami dibawa ke sebuah tempat tepi pantai. Rupanya lokasi pelatihan berada di sebuah pinggir pantai. Banyak rumah kecil berderet dengan dua kamar menjadi tempat tinggal kami selama 3 minggu pelatihan.
Saya tinggal dengan rekan dari Kepulauan Solomon dan dari India. Peserta pelatihan berasal dari berbagai negara. Yang saya tahu selain kami dari Indonesia, juga dari India, Laos, kepulauan Solomon, Papua Nugini, Birma, Jepang, Bangladesh, Mexico, Filipina sendiri dan lain-lain.
Tulisan identitas saya yang dikalungkan setiap hari di leher: "Pak Suyito", dikira saya berasal dari Jepang. "Are you Japanesse sir?" begitu kata seorang gadis muda Filipina pembawa acara.
Yang agak lucu adalah saat hari Minggu, saya dan Herin mengunjungi sebuah gereja di kota Davao dengan menumpang sebuah taksi. Sopir taksi malah mengira kami adalah orang Filipina.
Setelah kami jelaskan bahwa kami ini dari Indonesia, sopir taksi kemudian kembali bertanya,"Are you married to a philipine women?" Wah, malah kami dikira menikahi wanita Filipina. Herin tertawa, mungkin dia ingat istrinya di tanah air. Saya nyengir saja, ingat posisi saya waktu itu sebagai seorang widower karena istri meninggal akibat tumor colon awal tahun, tgl. 15 Januari 2016.