Lihat ke Halaman Asli

Suyito Basuki

TERVERIFIKASI

Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Skorsing

Diperbarui: 13 Februari 2022   07:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: femina.co.id

Skorsing

Oleh: Suyito Basuki

Bu Guru SD itu kena skorsing.  Saya baru tahu berita tersebut dari wakasek sekolah.  Secara tidak sengaja, Bu Muli, wakasek bagian kurikulum tersebut memberitahu ketika saya menyerahkan berkas-berkas persiapan mengajar awal semester. 

Saya yang mengajar di SMA, sebenarnya tidak begitu perduli dengan berita itu.  Saya berpikir bahwa jika seorang guru melakukan kesalahan, suatu hal yang wajar jika yayasan sebagai pihak pemilik sekolah menjatuhkan skorsing atau sangsi.

Namun kabarnya bu guru SD, yang kemudian saya ketahui bernama Sri Padmiyati, guru kelas 5 itu, mendapat skorsing yang tidak semestinya.  Sejak dikenakan sanksi, bu guru yang sering saya lihat bersemangat mengajar di kelas itu, tidak diijinkan mengajar.  Ia tetap harus masuk sekolah, hanya saja dari jam 7.00 sampai sekolah selesai, dia diharuskan duduk di ruang perpustakaan sekolah.  Sampai kapan ia terima sanksi itu?  Katanya tidak terbatas, sampai nanti yayasan menganggapnya cukup.

Sebenarnya saya tidak begitu kenal dengan bu Sri Padmiyati.  Yang saya tahu, orangnya supel, enak diajak bicara, dan manis wajahnya.  Tetapi bagi yang sudah mengenalnya lebih dekat,  bu guru yang telah berkeluarga dan memiliki putra kecil dua orang itu, terkenal cerewet, suka ngatur suami, dan materialistis.  Maksudnya, segala sesuatu yang ia kerjakan selalu ia kaitkan dengan berapa jumlah nilai uang yang akan ia terima.

Tetapi yang jelas, bu Sri ini adalah guru yang berotak pintar.  Terbukti tahun lalu, ketika Yayasan memilih guru-guru favorit di masing-masing sekolah, untuk tingkat SD terpilih bu Sri ini.  Kontan saja, bu Sri banyak menerima siswa les di rumahnya.  Di lingkungan sekolah saya, bahkan di kota saya, kegiatan les banyak dibutuhkan para murid.  Mungkin mereka merasa kurang jelas pada pelajaran di sekolah, sore harinya akan datang ke guru masing-masing untuk les. Para orang tua, yang kebanyakan berusaha di bidang pekerjaan meubel, merasa waktu dan kemampuannya kurang, sehingga mereka justru mendorong anak-anak mereka untuk mengikuti les.  Perihal uang, bukan masalah.

Setiap hari, ada saja para siswa, yang kebanyakan dari keturunan Tionghoa datang untuk menambah pelajaran kepadanya.  Semua mata pelajaran ia ajarkan, kecuali bahasa Inggris dan bahasa Jawa.  Memang sudah ada guru bahasa Inggris yang mengajar conversation baik untuk anak TK, SD, SMP, dan SMA di lingkungan kami.  Pernah suatu ketika ia datang menemui saya, menanyai kalau-kalau saya mau memberi les bahasa Jawa kepada murid-muridnya.  Saya menolak, karena merasa lucu dan bingung apa bisa mengajar bahasa Jawa kepada anak-anak yang kesehariannya berbicara dengan bahasa Indonesia dan kadang mandarin itu.

Gaji bulanan bu Sri Padmiyati yang sudah mengajar 10 tahun itu satu juta lima ratus ribu rupiah.  Dari kegiatan memberi les, sebulan ia dapat meraup uang sekitar dua juta rupiah.  Sehingga total sebulan ia bisa menerima uang dari sekolah dan juga para murid sekitar tiga setengah juta rupiah.

Uang tiga juta lima ratus rupiah itu walaupun lumayan,  tetapi bagi bu Sri sangat pas-pasan.  Setengah tahun yang lalu ia mengambil kredit di bank pasar dekat sekolah kami lima belas juta rupiah.  Sehingga ia harus mengangsur setiap bulannya satu juta lima ratus sekian ribu rupiah.  Belum lagi ia harus membayar angsuran kredit sepeda motor lima ratus ribu setiap bulannya.  Katanya, belum lama ia juga mengambil kredit kulkas dan hand phone dan laptop yang juga harus mengangsur setiap bulannya selama setahun sampai dua tahun.

Dengan demikian, gaji bu Sri hanya tinggal berapa itu setiap bulannya.  Padahal kami para guru sering mendapat undangan menghadiri pernikahan, mungkin anak pengurus yayasan, alumni-alumni sekolah kami, belum tetangga-tetangga di desa kami masing-masing.  Bisanya ketika menghadiri pernikahan, laki-laki akan memberi amplop sumbangan kepada laki-laki yang punya kerja.  Sedang perempuan akan memberi amplop sumbangan kepada perempuan nyonya rumah.  Kalau kebetulan kenal baik dengan pengantinnya, maka juga biasanya memberi uang amplop atau barang kepada pengantinnya juga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline