Lihat ke Halaman Asli

Suyito Basuki

TERVERIFIKASI

Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Tunggul Wulung, Tokoh Legendaris Sekitar Gunung Muria

Diperbarui: 3 Februari 2022   13:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto: panjimasyarakat.com

Tunggul Wulung, Tokoh Legendaris Sekitar Gunung Muria

Oleh: Suyito Basuki

Ada tiga aliran yang mengalir bersama dalam tubuh kehidupan Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ), yaitu aliran kekristenan Jawa Tunggul Wulung, aliran gereja Misi Mennonit Belanda (Doopgezinde Zendings Vereeniging/ DZV), dan aliran gereja Misi Hervormd (Nederlandsch Zendeling Genoot-Schap/ NZG).  

Empat tokoh yang berperan besar atas berdirinya jemaat-jemaat awal, yang disebut "keempat pendiri" Gereja Jawa Muria  adalah: Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, Pasrah Karso yang lama melayani di Kedungpenjalin, Pasrah Nuriman yang melayani di Kayu Apu Kudus, dan missionaris Mennonit Pieter Jansz.

Tentang Tunggul Wulung

Menurut penuturan Soedjono Harsosoedirdjo seorang pendeta di jemaat GITJ Margorejo Tayu, yang masih memiliki kedekatan hubungan dengan keturunan Tunggul Wulung, Tunggul Wulung masih memiliki silsilah keturunan bangsawan istana Puro Mangkunegaran Solo.  Nama kecilnya R. Tondo, lahir sekitar tahun 1800-an dari seorang selir.

Setelah dewasa bekerja di Kediri sebagai seorang demang dalam pemerintah kolonial Belanda dengan nama Raden Mas Demang Padmodirdjo.  Antara tahun 1825-1830 ikut melibatkan diri dalam melawan Belanda dengan bergabung dalam perjuangan Pangeran Diponegoro.  

Setelah Pangeran Diponegoro dipatahkan perlawanannya oleh siasat Jendral Hendrik Marcus de Kock, kemudian menghilang dan mencari penghidupan di desa Ngalapan Juwana Jawa Tengah.  Berganti nama Amat Dullah menurut pengakuannya kepada misionaris Pieter Jansz di Jepara atau Ngabdullah menurut pengakuannya kepada Residen Jepara.

Kesuksesan hidupnya tidak membawa sejahtera.  Oleh karena itu dia kemudian mencari ketenangan batin dengan memberi harta kekayaannya kepada orang yang membutuhkan.  Suatu hari dengan membawa peti uangnya yang sudah kosong, di kota Juwana dia bertemu dengan tukang kuda kontrolir, pembantu sahabatnya.  Kemudian dengan dalih meminjam kuda itu, akhirnya kuda itu dilarikan ke arah Semarang.  

Di desa Lo-Ireng daerah Semarang Timur inilah, Amat Dullah belajar kekristenan dari seorang pendeta yang bernama Bruckner dan kawan-kawannya dari misi NZG.  Belum lama tinggal di Semarang dan belajar kekristenan Amat Dullah ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda dijatuhi hukuman dengan dibuang ke Sulawesi.  Di tengah perjalanan menuju Surabaya yang rencananya kemudian ke Sulawesi, Amat Dullah berhasil melarikan diri, menghilangkan jejak menuju daerah Kediri dan naik ke Gunung Kelud.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline