Lihat ke Halaman Asli

Suyatno

wirawiri

Menertawakan Diri Sendiri

Diperbarui: 5 Oktober 2024   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: DALL-E

Dalam kehidupan, kita pasti pernah berada pada titik di mana rutinitas sehari-hari terasa seperti jalan di tempat. Mulai dari bangun pagi, mencari kesibukan, berurusan dengan tugas yang sama, hingga sore tiba dan mengulanginya lagi esok harinya. Segala sesuatu terasa monoton, dengan alih-alih bergerak maju, kita justru malah seperti terjebak dalam lingkaran yang tiada habisnya.

Saat keadaan tersebut melanda, berbagai pikiran aneh mulai muncul di kepala. Ada kalanya kita hanya ingin berdiam diri tanpa melakukan apa-apa, sekadar mengistirahatkan tubuh dan pikiran dari segala beban, atau bermain mobile legend untuk menyegarkan pikiran tapi nyatanya di troll oleh beban tim yang sok asik. Di lain waktu, mungkin kita juga berbicara dengan diri sendiri, melontarkan pertanyaan-pertanyaan konyol yang sebenarnya tidak butuh jawaban. "Apakah selamanya aku terus begini?" atau "Kapan aku benar-benar bisa menikmati hidup?" dan kita pun mulai tertawa kecil mendengar pikiran-pikiran itu. Apakah ini tanda stres? Bisa jadi tapi ini juga cara sederhana untuk menjaga kewarasan di tengah rutinitas yang terasa stagnan.

Menertawakan diri sendiri adalah bentuk "shock therapis" yang unik. Saat kita menyadari betapa seriusnya kita memandang segala hal dengan segala idealnya, sesekali tertawa atas kekonyolan diri sendiri bisa jadi penyegaran mental. Ketika rutinitas yang sama terus-menerus kita lakukan dan mulai memicu kebosanan, hal-hal kecil seperti mengolok-olok diri sendiri, memberikan demotivator, atau suggest bisa menjadi terapi. Ini bukan bentuk penyangkalan, tapi merujuk pada cara untuk bagaimana melepaskan beban sejenak.

Bayangkan, setiap hari kita melakukan rutinitas, menyelesaikan tugas, dan berpikir keras tentang masa depan, tetapi kadang kita lupa untuk menikmati momen. Lupa bahwa hidup tidak bisa bim salabim langsung ada, tapi juga tentang proses dan kemampuan diri, termasuk hal-hal "radikal" ditengah stress yang menguasai. Untuk memaksa diri kita bertarung dengan rasa takut agar bisa melompat lebih jauh.

Kenapa memilih menertawakan diri sendiri sebagai pelarian stress? Ya kalau menertawakan orang lain bisa saja dosa. Tapi bukan itu, menertawakan diri sendiri adalah bahwa kita bisa mengontrol respons kita terhadap situasi. Daripada stres menghadapi keadaan yang belum potensial atas harapan kita, kita bisa memilih untuk melihat sisi lucu dari situasi tersebut. Misalnya, ketika kita dicemooh oleh orang karena belum memiliki pekerjaan tetap, kita bisa berkata, "Tuhan itu memberikan waktu salah satunya untuk dinikmati, cara menikmati waktu ya dengan bekerja seadanya seperti ini," lalu tertawa kecil. Ini membantu meredakan ketegangan dan memberikan sudut pandang baru yang lebih santai.

Tak jarang, menertawakan diri sendiri juga bisa menjadi pengingat bahwa hidup tidak selalu harus serius. Kalau kata teman penulis "Nikmati aja dulu masa sekarang, jangan ambil pusing apa lagi ingin bunuh diri kaya di berita berita sekarang". Dengan nada bercanda sambil tersenyum tipis. Kita adalah manusia, bukan mesin. Ada kalanya kita lelah, bosan, bahkan depresi untuk menentukan tujuan hidup. Di saat-saat seperti itu, tawa bahkan yang ditujukan untuk diri sendiri bisa menjadi penyelamat yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline