Lihat ke Halaman Asli

Menghidupkan Deskripsi dalam Fiksi 2: Ceritakan Pengetahuanmu!

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Oleh Suyatna Pamungkas

Setelah jauh pertemuan sebelum ini saya mengajarkan menghidupkan deskripsi dengan metafora, pada kesempatan kali ini saya akan menyuguhkan teknik menghidupkan deskripsi dengan cara yang berbeda. Beberapa genre tulisan sangat memerlukan cara ini, meski tak wajib, namun tak ada salah dan buruknya jika dicoba diaplikasikan ke dalam tulisan kita, terutama yang sedang menulis fiksi panjang seperti novel, roman, atau novelet.

Jika kita membedah novel inspiratif seperti punyanya Pramoedya Ananta Toer, Andrea Hirata, Ahmad Tohari, Habiburrahman El Shirazy, dsb,  maka kita akan menemukan suatu pengetahuan yang terkandung dari novel-novel ini. Tentu saja ini terkait dengan intelejensi dan kepekaan sang kreator itu sendiri dalam membubuhi tulisannya dengan satu ramuan yang lain, ramuan pengetahuan. Sepintas membaca openingSang Pemimpi, saya tercengang dengan deskripsi Andrea Hirata dalam rangka memasukkan pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya dalam tulisan fiksi. Supaya jelas, berikut saya sertakan betapa dahsyatnya Andrea Hirata mengolah pengetahuannya.

[***Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat kataklismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung di atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjerang pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut yang bisu bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudut dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku terkurung, terperangkap, mati kutu.]

Atau….

[***Kami masyarakat yang indeferen, berbagi dan bersinergi bersama. Seperti hubungan antara dua bundel barang, di mana konsumen mendapatkan kepuasan yang sama pada tiap-tiap titik kombinasi kuantitas kedua bundel tersebut. Pendekar-pendekar ekonomi mengenalnya sebagai kurva indiferensi. Di tempat kami, tempat yang kami sebut dan akui sebagai janabijana kami, masyarakat menjadi satuan konstelasi yang jalin-menjalin, serupa gugus rasi bintang nan sempurna. Elemen itu selalu berdekatan, senantiasa bersama-sama, bergotong-royong, bergandengan, berangkulan, rajut-merajut, dan saling tak terpisahkan satu sama lain. Tak ada pertengkaran, berselisih-tegang, permusuhan abadi, apalagi sakit-menyakiti sampai bunuh-membunuh. Semacam itu sama sekali tak ada di tempat kami. Akupun bersyukur, empat berkawan bersyukur, Bukit Bayur bersyukur, kami semua bersyukur. Mentalitiè yang sudah terbentuk dan lekat adalah bahwa kami semua bersaudara, kami semua berasal dari satu nenek moyang yang sama. ]

[***Awal adalah kekacauan dan kehampaan. Pada sudut yang jauh, kematian terdampar di punggung Nyx dan Erabus. Kehampaan, chaos, kegelapan, sunyi kosong yang terkutuk menetap pada jembatan panjang yang ujungnya entah. Sebuah keabadiaan yang sulit terjamah titik awal-pungkasnya. Gelap pekat. Lalu sepercik cinta Erabus dan Nyx mengukuhkan Ether heavenly light dan Day earthly light. Begitulah, hingga Gaea menyelimutkan dirinya sendiri dengan mencipta langit Uranus. Kemudian muncul dewa-dewa di Olympus, para titan, gigant, centaur, dan makhluk aneh lainnya. Bumi semarak. ]

Membaca potongan paragraf ini membuat kita semakin sadar, bahwa korelasi menulis adalah dengan membaca. Membaca membuat penulis mengerti banyak hal, membaca membuat penulis mampu menuliskan cerita dibubuhi pengetahuan yang mumpuni, membaca membuat penulis menghasilkan karya yang bergizi. Waduh, repot juga kalau begitu dong, menjadi penulis dituntut banyak tahu hal. Idealnya begitu memang. Namun minimal menguasai bidang yang sedang ditulis, tujuannya jelas, agar kandungan cerita kita menjadi lebih hidup dan tidak terkesan sok tahu dan menulis ngasal begitu saja. Ya, menulis memang perlu referensi, minimal bidang yang sejalan dengan tulisan yang sedang dikerjakan.

Namun seperti yang saya katakana tadi, idealnya kita banyak tahu, kita membaca banyak bacaan dan tahu banyak hal. Nah, bagi yang tidak terlalu militant menulis, dan hanya punya sedikit waktu untuk melakukan pekerjaan ini, jangan berkecil hati dan jangan paksakan melahap buku-buku pengetahuan di luar bidang profesi Anda dan tidak Anda sukai. Silakan tumbuh menjadi penulis yang proporsional. Jika sekarang posisi Anda adalah guru, dan mendadak keranjingan menulis, maka bukan alasan meninggalkan pekerjaan guru demi menjadi penulis. Jadilah guru yang bisa menulis, dengan bekal yang ada dan pengetahuan yang dimiliki saat kini. Jika Anda seorang bankir, yang tiba-tiba juga gemar menulis, lakukan pekerjaan Anda sebagai bankir, dan sisakan waktu untuk menulis. Namun saya juga memberi apresiasi tinggi bagi Anda yang ingin total menulis, hanya dan hanya menulis. Nah, bagi siapa saja yang ingin menulis dan ingin (:seharusnya memang harus begini) memasukkan pengetahuan dan ilmu yang dimiliki ke dalam tulisan fiksi, berikut ini salah satu caranya. Ingat, salah satu. Artinya masih banyak sekali model-model yang bisa dilakukan selain cara ini.

Pertama, asahlah kepekaan kita terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita. Tidak harus ilmu yang sifatnya sangat ilmiah, yang spiritual juga tak masalah. Ketika sedang di tengah jalan menulis novel, dan butuh asupan “gizi”, mulailah melakukan tindakan ini, peka akan segala sesuatu yang terjadi. Misalkan begini, saat saya mengikuti sebuah rapat di gedung rektorat lantai sepuluh, saat itu terjadi gempa Jakarta. Saya panik karena dalam benak pikir saya, saya pasti mati bersama puluhan profesor di ruang rapat. Bukan hanya saya, semua yang ada di ruang rapat tersebut pun panik, dan semburat berlari begitu kacau. Tiba-tiba salah satu teman saya, yang menjabat sekretaris dekan mengingatkan kepada kami semua, bahwa gedung rektorat dibangun dengan kekuatan tahan gempa hingga 10 SR.

Stop. Sekarang kembali ke pelajaran menulis. Dalam keadaan panik tersebut, saya menangkap satu informasi berharga bahwa gedung setinggi rektorat memiliki daya tahan gempa hingga 10 SR. Alhamdulillah sekali, saat itu saya langsung bisa mengaitkan peristiwa gempa dengan tulisan fiksi saya. Saya menuliskan setting tempat, apartemen (refleksi dari gedung rektorat) berlantai belasan, dan dalam deskripsi saya menuliskan bahwa apartemen ini memiliki kekuatan tahan gempa hingga 10 SR.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline