Sembari duduk, dua jinjingan kresek hitam bersamanya. Satu ia pangku, satunya ia jepit di sela kaki. Tas motif macan dipelukannya. Kerudung panjang yang menutupi dadanya punya warna yang tidak sepadan dengan kaos lengan panjang yang menempel di tubuhnya, pun celana bahan yang ia kenakan. Dari atas urutan warnanya biru terang-hijau tua-biru dongker. Badannya kecil , terselip diantara dua lelaki montok yang duduk di kiri-kanannya. Dalam kereta yang penuh sesak. Matanya mencari yang tak mau ia cari. Entah apa. Karena ia tak pernah menemukan. Kulitnya gelap, ya, gelap untuk ukuran kuning langsat. Keriput menjadi hiasan di wajah layunya. Urat-urat di punggung tangannya tampak menonjol, tanda sudah kurang kemampuan menerima sebar oksigen dari jantung. Dengan gigi seadanya, tak jarang ia senyum sendiri. Entah untuk apa.
Aku yang di seberang sini, 42 tahun lagi akan begitu.
Tua.
Renta.
Dan naik kereta.
Catatan untuk nenek di kereta tujuan Bogor tadi pagi. Yang aku lirik-lirik, tapi pura-pura bukan kepadanya.
04 September 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H