Lihat ke Halaman Asli

Suudiatul Mabruroh

Mahasiswa IAIN Jember

Tantangan Menjadi Guru Agama

Diperbarui: 10 Mei 2020   04:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tantangan yang dihadapi guru, khususnya guru agama sangat berat, melebihi tantangan guru-guru pengajar materi umum. Tantangan tersebut dikelompokkan ke dalam tiga aspek; pertama, aspek materi agama. 

Dari aspek ini, tantangan yang dihadapi guru agama adalah; (a) materi agama Islam banyak menyentuh aspek metafisika, irasional bahkan supra rasional, sehingga menyulitkan guru untuk menjelaskan secara detail agar peserta didik mengerti dan yakin; (b) sebagian materi agama agak tabu untuk dijelaskan pada anak usia tertentu, sehingga peserta didik tidak bisa mendapat penjelasan secara rinci(c) cakupan materi agama sangat luas, menyangkut hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia lain, dan hubungan manusia dengan makhluk lain dan alam sekitarnya. 

Ketiga hal tersebut harus dijelaskan secara seimbang sesuai tingkat perkembangan anak, suatu tugas yang tidak mudah; (d) materi agama lebih mengedepankan praktik (amal shalih) dibanding teori, padahal standar evaluasi amal shalih sangat kompleks.

Kedua, aspek guru agama. Dalam aspek ini, yang menjadi tantangan antara lain; (a) rendahnya dedikasi guru agama dalam melaksanakan tugasnya. Dalam kenyataan masih banyak guru agama yang melaksanakan tugasnya tidak sepenuh hati, sekedar mengajar, sehingga hasilnya tidak maksimal; (b) kecenderungan guru agama yang lebih menekankan aspek kognitif dalam menyampaikan materi agama. Padahal, sebagaimana dijelaskan, pendidikan agama lebih meng-utamakan aspek afektif-psikomotorik (amal salih) dibanding hanya sekedar pintar ilmu agama; (c) rendahnya kemampuan guru agama dalam menguasai materi agama dan strategi penyampaian materi kepada peserta didik. Akibatnya, peserta didik tidak akan memperoleh hasil belajar yang maksimal; (d) dalam Islam, guru agama dituntut menjadi model ideal (uswah hasanah) bagi peserta didik dalam melaksanakan ajaran agama. Ia tidak hanya dituntut untuk membimbing moralitas, tapi juga spiritualitas.

Ketiga, tantangan di luar kedua aspek di atas, misalnya; (a) rendahnya perhatian orang tua di rumah terhadap pendidikan agama anak-anaknya. Ada kesan, jika anak telah belajar di sekolah/madrasah, tanggungjawab orang tua telah selesai, semuanya diserahkan ke lembaga/guru. 

Padahal sekolah/madrasah hanya membantu tugas dan tanggungjawab orang tua yang tidak mungkin mendidik secara teratur sebagaimana yang dilakukan sekolah/madrasah. Rendahnya perhatian orang tua ini mempersulit tugas guru agama dalam menyampaikan pesan-pesan Islam, karena apa yang diterima di sekolah/madrasah kadang-kadang berbeda dengan yang diterima/disaksikan di rumah; (b) kehidupan umat Islam telah dicemari dengan pola hidup modern yang materialistik, hedonistik, dan rasionalistik, dan cenderung mengesam-pingkan nilai-nilai agama. Pola hidup sekuler ini menjadi tantangan berat bagi guru agama karena mereka harus menyajikan agama di tengah-tengah masyarakat yang mulai melupakan agama bahkan mulai meragukan peran agama dalam kehidupan. Di sini guru agama dituntut untuk selalu melakukan inovasi, agar pelajaran agama tetap menarik perhatian peserta didik dan dirasakan relevan dalam kehidupan masyarakat yang terus berkembang; (c) khusus guru agama di sekolah dan madrasah, tantangannya lebih berat lagi karena kedudukan materi agama di lembaga tersebut "belum mantap". Di sekolah, materi agama terkesan sebagai "pelengkap". Sedangkan di madrasah, materi agama kian "tersingkir" sejalan dengan perubahan paradigma madrasah, dari sekolah agama menjadi sekolah umum berciri khas Islam. Dengan perubahan paradigma tersebut, madrasah lebih cenderung terfokus padakajian materi umum, lebih-lebih mata pelajaran yang di-UNAS-kan. Kendati telah ada upaya islamisasi sains melalui program "spiritualisasi bidang studi umum dan pengajaran agama dengan nuansa iptek",dalam tataran aplikasi program tersebut menghadapi banyak kendala, seperti, tidak mudah mengubah pola pikir dikotomik yang telah puluhan tahun mewarnai pola pikir umat Islam. Di samping itu, program reintegrasi ilmu belum didukung tenaga guru yang mumpuni, baik guru agama yang berwawasan iptek maupun guru-guru umum berwawasan Islam yang kuat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline