Lihat ke Halaman Asli

Sutriyadi

Pengangguran

Mulai Sekarang Kalian Boleh Merokok di Kelas

Diperbarui: 21 Agustus 2023   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

health.kompas.com

Mulai sekarang kalian boleh merokok di kelas. Bagaimana jika sepenggal kalimat di atas keluar dari mulut seorang guru di Indonesia? Pasti satu jam berikutnya, dipanggil oleh ketua yayasan atau kepala sekolah untuk segera angkat kaki dari lembaga itu. Dimaki-maki oleh netizen sudah barang pasti konsekuensi tak terelakkan. 

Tapi tidak dengan Sartre, filsuf Prancis. Meski bertubuh mungil dan usia yang masih muda kala itu, pemilik nama asli Jean-Paul Sartre justru bernyali baja. Pada hari pertama ia masuk kelas setingkat SMA sebagai guru filsafat, pria kelahiran Paris, 21 juni 1905 sudah mengampanyekan semangat kebebasan dalam pendidikan sejak 1931.

Gagasan apik itu, dapat dicerna 37 tahun kemudian oleh pelajar dan mahasiswa tentang Ilest interdit d'interdire (dilarang melarang). Sehingga aksi mogok dan perlawanan besar-besaran terhadap sistem membuat Presiden Prancis De Gaulle tumbang dari jabatannya.

Tidak hanya soal merokok, proses belajar yang diterapkan oleh Sartre tidak terikat dengan waktu dan tempat. Di mana pun dan kapan pun boleh belajar filsafat. Bahkan, Jean Gustiniani, mantan muridnya itu bercerita, bahwa gurunya (Sartre) pernah bilang: "Jangan datang ke sekolah dengan buku filsafat, datanglah dengan otak terbuka."

Pendidikan di Indonesia sendiri masih kaku soal kebebasan dalam belajar. Banyak pendidik yang lebih menyerukan etika dan moral. Seolah menjadi baik itu harus lahir dari gagasan moralitas yang tidak jelas kebenarannya. Budaya turun-temurun inilah yang menjadi sekat dan ruang kebebasan menjadi sempit.

Banyak guru yang memosisikan diri sebagai tuan. Dengan dalih moral, mendoktrin murid-muridnya bersikap sebagai hamba kepada siapa pun khususnya kepada yang lebih tua. Tanpa melihat situasi dan kondisi tertentu. Sehingga cenderung melahirkan generasi penurut bukan penggagas. Bukankah akan lebih baik jika moralitas lahir dari ilmu pengetahuan.

Saya menilai, tindakan guru atau dosen di Indonesia selama ini lebih menguntungkan dirinya sendiri dari pada murid. Murid dipaksa tunduk, berjalan menunduk, dan harus menghormati guru sepenuh hati, sehingga perbedaan pendapat sulit terjadi. Iming-iming dosa, kualat, dan karma, inilah kemudian melekat dalam kepala si murid yang membuat mereka tidak bisa berkembang bebas mengikuti pikirannya sendiri. 

Penulis tidak sepakat dengan tindakan guru otoriter yang dibungkus dengan dogma agama atau moral. Itu sebabnya di kelas, saya memilih mendorong mahasiswa bersikap layaknya kawan. Tujuannya agar apa yang ada dalam benak dan hati mereka dapat tersampaikan di ruang-ruang diskusi. Berani membantah pendapat para dosen. Sebab kebenaran terletak pada cara berpikir yang rasional. Bukan emosional.

Bahkan, saya merasa janggal jika ada di antara mahasiswa yang masih mengedepankan moralitas dibanding kebenaran-kebenaran ilmiah di dalam kelas. Lembaga pendidikan yang maju terletak pada lulusan yang mandiri. Bisa mengendarai pikirannya sendiri tanpa harus tunduk pada pendapat orang yang lebih tua atau lebih tinggi status sosial di masyarakat.

Toh, menjadi murid baik dan berprestasi, tidak menjamin masa depannya berhasil. Justru malah sebaliknya. Hal itu bukanlah omong kosong belaka. Hasil penelitian yang dilakukan kolaboratif dari Jerman dan Amerika Serikat antara ahli Free University of Berlin, University of Luxembourg, dan University of Illinois at Urbana-Champaign. Bahwa murid yang nakal (karena cenderung mengikuti pikirannya dibanding dogma dan aturan guru) memiliki masa depan yang sukses dibanding yang penurut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline