"Semiotika adalah ilmu tentang dusta". Ungkapan ini dapat kita bolak-balik dengan kalimat yang berbeda. Misalnya: untuk mengetahui tentang dusta kita harus belajar semiotika.
Kata-kata singkat Umberto Eco di atas memancing kita untuk berpikir kritis. Sebab selama ini yang ada dalam kepala kita, semiotik diartikan sebagai ilmu tentang tanda.
***
Dusta
Lalu dimanakah letak dustanya? Ia menilai bahwa semua tanda itu dusta. Sebab, “tanda” ada sebagai wakil dari yang “asli”. Kemudian “tanda” itu dianggap atau disepakati sebagai yang asli atau nyata. Padahal kata Eco, keduanya berbeda namun kita tidak menyadari.
Saya beri contoh, lampu merah di jalan raya. Pada hakikatnya “lampu merah” tersebut adalah sebuah lampu yang warnanya merah, namun ia dihadirkan sebagai wakil dari sebuah aturan lalin (yaitu berhenti).
Nah, di sini kalau kita cermat antara “lampu merah” dan “berhenti” keduanya berbeda jauh bahkan tidak memiliki hubungan. Namun karena dikonvensikan, akhirnya diterima oleh masyarakat luas bahwa lampu merah adalah berhenti.
***
Tanda dan Hoaks
Selanjutnya, kata “dusta” akan saya ganti dengan saudara kembarnya yaitu “hoaks”. Jadi, untuk mengidentifikasi kalimat, pendapat, atau berita hoaks salah satunya dengan semiotika. Ya, alangkah baiknya dan dipandang perlu untuk belajar semiotik karena memiliki korelasi dengan kabar yang menyebar luas saat ini.
Agar lebih mudah dipahami, saya akan jelaskan rute mainnya sebagai berikut. Tanda adalah sesuatu yang mewakili dari aslinya (petanda). Jadi, petanda adalah makna yang sembunyi di balik tanda. Untuk memaknai sebuah tanda kita harus tahu ilmunya. Sehingga kita dapat memperoleh makna di balik tanda tersebut dengan benar sesuai keyakinan pembuat tanda.