Lihat ke Halaman Asli

Sutriyadi

Pengangguran

Gatot Lolos dari "Perangkap" Istana, Bagaimana dengan Habib Rizieq?

Diperbarui: 13 November 2020   07:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pedomanrakyat.com

Saya jadi ingat dengan perjalanan salah satu tokoh filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Siapa sangka filsuf Prancis yang dikenal dengan gagasannya tentang kebebasan itu di tahun 1954 pernah mendukung habis-habisan diktatorial Stalin Uni Sovyet (URSS). Justru hal itu dilatarbelakangi oleh sebuah penjamuan atau undangan yang dilakukan oleh Stalin kepada Sartre di URSS.

Sartre yang sebelumnya sudah memiliki nama besar, kian menjadi buah bibir di kalangan masyarakat dan membuat berang lawan politik Stalin, karena arah politiknya dianggap berlawanan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Ia menyebut dalam tulisannya bahwa Stalin tetap menjamin kebebasan mengkritik. Namun fakta bicara sebaliknya. Bahkan ia telah mengabaikan ribuan oposisi Stalin yang mati di Gulag Seribia.

Setelah beberapa tahun kemudian, di akhir masa hidupnya, ia kembali mengoreksi periode kelam itu dengan mengatakan bahwa yang ia katakan baik-baik soal URSS pada masa itu bukan semata-mata hasil buah pikirnya namun karena alasan sopan santun. Artinya, sehabis dijamu sebagai tamu masak sepulang ke rumah melemparkan tahi ke mereka. Maka kemudian kontingensinya kian populer dan dianggap sebagai karakter yang melekat terhadap aliran Sartrean.

Baru-baru ini tanah air dibanjiri kabar penghargaan tanda kehormatan Bintang Mahaputera oleh pemerintah kepada Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.  Ya, Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) itu merupakan salah satu tokoh oposisi yang dianggap vokal dan lantang mengkritik terhadap kebijakan pemerintah. Gatot hampir mengikuti jejak Sartre atau koleganya seperti Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Namun pria kelahiran Tegal, 13 Maret 1960 itu sudah mengendus "perangkap" manis dari Istana dan memilih tidak menghadiri acara penganugerahan tersebut.

Walaupun tidak hadir, ia mengirim surat ke Istana. Gatot Nurmantyo menyatakan kesediaan untuk menerima Bintang Mahaputera dari Presiden Joko Widodo. Ketidakhadiran mantan panglima TNI itu karena beberapa alasan salah satunya karena saat ini masih dalam suasana COVID-19.

Terlepas dari semua itu, Gatot sudah membaca arah mata angin politiknya dengan cermat. Pertama, ia tidak ingin mengecewakan para koalisinya yang telah lama berkeringat dan satu misi menyuarakan aspirasi rakyat. Sebab jika ia datang terang-terangan ke Istana dan menerima "jamuan" dari Presiden tentu banyak spekulasi yang akan muncul di kalangan seperjuangannya.

Di sisi lain ia juga tidak ingin menganggap "jamuan" dari Istana sebagai pantangan politik. Kembali pada teori Sartre, bahwa manusia itu kontingensi. Sewaktu-waktu dapat berubah. Sekarang lawan, besok bisa jadi kawan atau sebaliknya. Sebab hal itu akan berdampak pula pada karier politiknya. Sehingga ia tetap memilih jalan tengah namun tetap tidak lengah.

Apresiasi bergengsi itu tidak pertama kalinya mendarat di bahu sang Jenderal. Sebelumnya, ia pernah dianugerahi Bintang Dharma Brunei 2013 dan Bintang Yudha Dharma Utama Singapore 2016.

Lalu apakah Gatot Nurmantyo sudah lolos dari "perangkap"? Kita lihat beberapa hari ke depan apakah suaranya lebih lantang. Mengulik sedikit tentang dua politikus sebelumnya, setelah "dijamu" oleh Presiden, kritikannya kini diarahkan kepada orang-orang di sekitar Istana. Artinya suara lantang mereka tidak lagi mampu menembus masuk ke dalam Istana.

Terakhir, siapakah pemilik suara lantang berikutnya yang bakal masuk "perangkap"? Bagaimana dengan Habib Rizieq, layakkah dianugerahi Bintang Mahaputera? Kita tahu bahwa kritikannya membuat telinga terbakar. Saksikan keseruan kisah ala Sartrean hanya di Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline