Seperti yang kita ketahui dalam masa perjuangan dahulu, bangsa Indonesia melawan penjajah dengan darah dan air mata. Dimana bentuk penjajahan pada saat itu adalah bentuk penjajahan feodalsime. Kita tidak perlu menghitung lagi siapa saja yang menjajah bangsa ini, dimulai dari Belanda, Jepang and banyak negara eropa lainya. Bahkan disaat Indonesia merdekapun mereka membentuk sekutu untuk berusaha menjajah Indonesia kembali.
Namun pada jaman modern ini bentuk penjajahan yang dimaksud bukan seperti layaknya penjajahan jaman perjuangan, penjajahan jaman digital 4.0 sekarang lebih kepada penjajahan budaya asing yang masuk ke generasi penerus bangsa ini.
Kita bisa lihat peran sebuah negara asing menanamkan “soft powernya” kepada bangsa ini sangat halus masuk semua lini media informasi yang ada di negri ini. Dan bukti paling nyata bentuk penjajahan dengan soft power adalah di sisi budaya. Dimana budaya asing seperti budaya barat, korea dan india sangat familiar di negri ini.
"Soft Power adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan melalui ketertarikan daripada melalui paksaan" Josep Nye
Ditingkat daerah pengaruh penjajahan budaya ini tidak terpengaruh besar kepada masyarakat, akan tetapi di kota-kota besar kita dengan gamblang dipertontonkan generasi penerus bangsa ini bangga menggunakan atribut budaya asing. Yang bahkan dengan rela mengantri dari restoran cepat saji yang berkolaborasi artis asing untuk membeli produknya.
Tanpa disadari bentuk penjajahan model seperti ini sepertinya tidak berbahaya jika dilihat dari segi fun dalam kehidupan bermasyarakat. Namun dalam kehidupan sendi-sendi bernegara, kita adalah korban soft power negara asing. Lalu bagaimana soft power yang kita lancarkan ke dunia internasional dalam menaiklan citra bangsa Indonesia?.
Langkah soft power yang sudah negara lakukan terhadap peningkatan citra bangsa adalah mendunia nya kembali Batik di era Presiden Susilo Bambang Yudoyono, dimana batik bisa dan bahkan diterima luas oleh dunia internasional. Bahkan beberapa tokoh internasional dengan bangga dan rutin memakai batik dalam kesempatan resmi nya.
Yang lebih hebat nya lagi dalam soft power yang kita lakukan bahwasannya batik diminati dalam dunia fashion internasional, tentunya dengan model yang lebih modern. Namun di era sekarang sepertinya pelaksanaan soft power di bangsa ini tidak semasif era SBY.
Lalu bagaimana dengan dunia entertain yang sengaja dan atau tidak sengaja menjadi bentuk soft power bangsa ke negara lain?, kita ambil contoh di dunia musik, sama-sama kita ketahui bahwasannya dalam segi music, banyak musisi Indonesia berhasil menjadi bintang di beberapa negara, terutama dengan negara yang serumpun seperti Malaysia.
Namun kita coba telaah bagaimana respon negara tetangga kita menghadapi soft power yang mungkin tidak sengaja di lancarkan. Kita ambil contoh repson Malaysia terhadap Inul daratista dan Weird Genius. Mereka sejatinya menyukai kedua musisi kita tapi mereka merespon dengan sedikit berlebihan, misalnya pelarangan Inul Daratista untuk konser di Malaysia dengan goyang ngebornya dan pernyataan pejabat negara terhadap Weird Genius di judul lagu “Lathi” yang dianggap lagu setan.
Tentunya sikap mereka agak berlebihan jika merespon hal tersebut yang dengan kacamata kita yang dimana musisi tersebut punya kreatifitas dan berprestasi. Namun jika di telaah dalam kaidah bernegara, mereka sedang membentengi bangsanya dari soft power strategi bangsa lain, maka kita harus mengerti bahwasannya negara tersebut sedang membentengi generasi penerus bangsanya.
Perlunya Negara dalam hal ini juga meningkatkan soft powernya ke dunia internasional. Banyak hal yang bisa dijadikan senjata dalam menjalankan soft power ini. Seperti budaya, pariwisata, kekayaan alam dan masih banyak lagi.
Sutrisno_Mahasiswa Komunikasi Universitas Siber Asia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H