Ketika Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) melakukan penahanan Anas Urbaningrum pada “Jumat Keramat”, para penulis Kompasiana seperti ramai-ramai ‘menggebugi’ mantan Ketua Partai Demokrat itu dengan aneka asumsi negatif. Seolah Anas sudah menjadi terpidana dan pantas untuk dicaci-maki. Padahal, secara hukum Anas belum bersalah karena belum ada vonis dan bukti hukum yang menunjukkan Anas bersalah. Karena itu, para Kompasianer yang keburu mencaci Anas tampaknya bakal terkecoh. Kenapa demikian? Karena kasus Hambalang ini kental dengan aroma politik dan fakta hukum yang dijadikan dasar penahanan Anas belum diuji di pengadilan.
Tulisan ini tidak punya maksud ingin membela Anas. Penulis sepakat bahwa koruptor harus dihukum seberat-beratnya dan perlu dimisikinkan. Ketika Anas ‘membangkang’ memenuhi panggilan KPK, penulis sangat sepakat jika KPK menjemput paksa Anas dengan melibatkan Densus 88. Namun ketika Anas bersedia memenuhi panggilan KPK, penulis juga menacungkan dua jempol. Kenapa harus diacungi jempol? Sikap Anas tersebut setidaknya memuat edukasi politik dalam menghormati hukum dan lembaga penegak hukum. Sebab, penegakan hukum memang tidak boleh pandang bulu. Soal apakah Anas bersalah atau tidak bersalah dalam kasus Hambalang, biar fakta hukum yang membuktikannya. Yang jelas, antara hukum dan politik harus dipisahkan dan jangan dicampuraduk agar tak menimbulkan bias hukum dalam proses pemberantasan korupsi.
Tria By The Press dalam Kasus Anas
Hanya saja, ketika KPK memutuskan Anas ditahan, di antara Kompasianer ada yang “main hakim sendiri” melalui tulisan “main vonis”, seolah tak mau menghormati lagi asas praduga tak bersalah. Dalam istilah jurnalistik, tulisan bernada “main hakim sendiri” itu disebut dengan istilah Trial by The Press. Padahal, KPK sendiri tidak berani melakukan hal semacam itu. Menyebut nama Anas pun, KPK selalu memakai inisial AU. Artinya, KPK masih sangat menghormati asas praduga tak bersalah.Tapi di antara penulis Kompasiana sepertinya ada yang jauh lebih galak dari KPK.
Kendati demikan, dari 92 tulisan bertema penahanan Anas, ada juga penulis yang bersikap bijaksana. Setidaknya seperti yang ditunjukkan Tengku Bintang dalam tulisannya yang berdujudul “Melacak Dana Hambalang Dengan Logika Sederhana”. Tulisan Tengku Bintang itu cukup jernih dan mencerahkan. Penulis sepakat dengan Tengku Bintang bahwa “UU Tipikor harus diletakkan pada jalur yang sebenarnya, yaitu menjerat Penyelenggara Negara yang melakukan korupsi. Jangan sampai UU yang begitu luhur tujuannya, digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak semestinya.”
Setelah menahan Anas, kini KPK tinggal melakukan proses hukum, yakni menuju meja pengadilan untuk pembuktian dugaan pelanggaran pasal hukum yang ditujukan kepada Anas. Publik pasti akan menunggu apa pun hasilnya putusan pengadilan nanti. Kalau pengadilan akhirnya mampu mengeluarkan vonis bahwa Anas terbukti bersalah, para Kompasianer boleh-boleh saja ramai-ramai melontarkan tulisan bernada cacian sesuka hati. Kalau ada yang ingin menuntut Anas untuk digantung di Monas tentunya juga tidak dilarang sepanjang sudah ada keputusan hukum bersifat final. Toh, Anas sendiri yangsesumbar siap digantung di Monas jika terbukti korupsi. Namun, kalau pengadilam ternyata tidak bisa membuktikan Anas bersalah hingga akhirnya dibebaskan dari segala tuntutan hukum, maka Kompasianer yang “main hakim sendiri” (Trial by The Press), dapat terkecoh. Bahkan, dapat terkena tuntutan hukum jika Anas keberatan.
Yang jelas, proses hukum Anas dalam kasus Hambalang ini sepertinya tidak mudah dalam hal pembuktiannya. Selain ada faktor politis, pernyataan Anas menjelang masuk sel tahanan KPK, dianggap pengamat memuat isyarat tertentu. Menurut pengamat politik Universitas Indonesia, Boni Hargens, ucapan terima kasih Anas kepada SBY, Ketua KPK dan petugas KPK lainnya memiliki arti tersendiri.
Seperti ini keterangan Boni Hargens selengkapnya yang dilansir TRIBUNLAMPUNG.CO.ID :
Nah, bagaimana pendapat Anda terhadap pernyataan Boni Hargens seperti yang terlihat dalam screenshoot di atas? Semoga tulisan ini bermanfaat. Setidaknya, para Kompasianer dapat menggunakan kebebasan berpendapat dengan lebih cermat lagi dan tidak mudah larut atau sekedar ikut-ikutan dalam arus Trial By The Press.
Perlu untuk dicatat bahwa terkait penahanan Anas tersebut PB HMI Periode 2013-2015 akhirnya menggelar diskusi bertajuk "Membedah Sprindik, Surat Panggilan dan Surat Penahanan KPK dalam Kasus Hambalang dan/atau Proyek-Proyek lainnya" di Sekretariat PB HMI di Jln. Diponogoro 16 A. Sementara Anas adalah mantan aktivis HMI yang cukup dihormati kalangan aktivis HMI masa kini. Dalam diskusi itu, PB HMI menyoal sikap KPK yang dinilai cenderung tebang pilih dan diskriminatif dalam mengusut kasus korupsi. Sedang dalam penanganan kasus Hambalang KPK dianggap tendensius dan bias politik. Sementara kasus korupsi besar justru belum tersentuh oleh KPK, seperti kasus century dan lainnya.[Sikap PB HMI Pasca Ditahannya Anas Urbaningrum]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H