Lihat ke Halaman Asli

Menyoal Anomali Moral Pedagang pada Ramadhan dan Lebaran

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14052679131093451761

Rahasia kenaikan harga kebutuhan pokok yang sering terjadi setiap kali Ramadhan dan Lebaran akhirnya dapat terungkap dengan jelas setelah mengikuti acara Nangkring dan Buka Bersama yang digelar Kompasiana dan Bank Indonesia (BI) di Ruang Komperensi Pers Bank Indonesia, Jl. MH. Thamrin, Jakarta, 11 Juli 2014 lalu. Dalam acara Nangkring dan Buka Bersama yang diawali dengan diskusi bertema “Ramadhan Harga Stabil” tersebut, para nara sumber yang berkompeten mampu mengungkap berbagai faktor yang menjadi penyebab kenaikan harga setiap kali Ramadhan dan Lebaran. Salah satu faktor penyebab kenaikan harga itu adalah adanya ekspetasi para pedagang yang berlebihan. Dengan kata lain, di balik kenaikan harga kebutuhan pokok pada masa Ramadhan dan Lebaran ini memang ada unsur “kenakalan” dari pedagang. Ini menandakan bahwa pada Ramadhan dan Lebaran justru terjadi anomali moral di kalangan pedagang. Padahal, kenaikan harga kebutuhan pokok pada masa Ramadhan dan Lebaran tersebut juga dapat mendorong terjadinya inflasi. Lantas, pantaskah pedagang “nakal” itu dibiarkan saja ikut menurunkan nilai mata uang kita?

Ketika Bank Indonesia mengajak diskusi bertema Ramadhan, awalnya Saya agak merasa heran. “Bank central mau ikut-ikutan ngurusi Ramadhan?” tanya dalam hati Saya ketika membaca Kompasiana. Tapi setelah membaca lengkap bahwa tema diskusinya dikaitkan dengan kenaikan harga dan inflasi pada masa Ramadhan dan Lebaran, Saya baru tergelitik untuk ikut. Saya makin tertarik hadir setelah Bank Indonesia juga membeberkan hasil pengamatnnya tentang fenomena kenaikan harga dan inflasi pada tiap Ramadhan dan Lebaran.

Berdasar pengamatan Bank Indonesia, pola historis inflasi selama periode Ramadhan-Lebaran, umumnya mulai terjadi pada saat bulan puasa (t-1), kemudian berlanjut pada saat Idul Fitri (t0), dan cenderung mengalami koreksi harga pada satu bulan setelah Idul Fitri (t+1). Sedang komoditi pangan yang menjadi penyumbang inflasi pada periode Ramadhan-Lebaran dalam tiga tahun terakhir ini relatif tidak mengalami perubahan, yakni selalu terjadi pada aneka daging, aneka bumbu dan beras.

Menurut Arief Hartawan (Deputi Direktur Kebijakan Moneter Bank Indonesia), penyebab inflasi di Indonesia selama ini tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi moneter (jumlah uang yang beredar dll) saja, namun juga sering dipengaruhi adanya faktor shock (kejutan) di luar moneter, seperti shock dari pengaruh kenaikan harga BBM, shock ketersediaan pangan karena ada gagal panen, dll. Sedang kenaikan harga kebutuhan pokok pada masa Ramadhan dan Lebaran juga termasuk ikut mendorong terjadinya inflasi. Namun Arief malah bertanya-tanya, haruskah setiap kali Ramadhan dan Lebaran datang, selalu diikuti oleh kenaikan harga kebutuhan pokok? Menurut Arief, kenaikan harga kebutuhan pokok pada Ramadhan dan Lebaran, terdapat ketidakwajaran. Dalam hal ini ekspektasi dari para pedagang dinilai terlalu tinggi sehingga terjadi kenaikan harga pada sejumlah kebutuhan pokok. “Mereka memasang margin terlalu tinggi,” jelasnya.

Dari sinilah Saya punya praduga bahwa di balik kenaikan harga kebutuhan pokok pada masa Ramadhan dan Lebaran ini memang ada unsur “kenakalan” dari pedagang. Sebab, sejak menjelang Ramdhan lalu para aparatur pemerintah (lintas sektor) sudah turun tangan untuk pengendalian harga dan inflasi  seperti yang dipaparkan Sartono (Asisten Deputi Urusan Ekonomi dan Keuangan Daerah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian); Widodo Sigit Pudjianto (Direktur Pengembangan Ekonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri) dan Ferry Irawan (Kepala Bidang Analisis Moneter dan Lembaga Keuangan – Kementerian Keuangan). Soal pasokan bahan pokok pangan sudah ditangani, operasi pasar dan pasar murah juga ada, bahkan Pemerintah Daerah Jawa Timur sampai memberikan subsidi pada ongkos angkut bahan pokok. Sementara Kemendagri juga sudah membentuk TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah) di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten.

Tapi faktanya, kenaikan harga dan inflasi tetap terjadi. Pedagang sate langganan Saya misalnya, juga mendapati kenaikan harga daging. Daging kambing yang biasa dibeli Rp 100 ribu per kilogram, naik menjadi Rp 105 ribu per kilogram. Heru Margianto (moderator dari kompas.com), ketika mengawali diskusi “Ramadhan Harga Stabil”, juga mendapati kenaikan harga kebutuhan pokok selama bulan puasa ini. Demikian juga Nur (Kompasienaer dari Bekasi) karena uangnya yang Rp.1000,- kini tidak bisa lagi untuk membeli tiga buah timun seperti sebelum puasa lalu.

Tingginya ekspetasi pedagang dalam meraih keuntungan pada masa Ramadhan dan Lebaran ini, menunjukkan adanya anomali moral di kalangan pedagang. Padahal, bulan Ramadhan adalah bulan yang dianggap suci dan masanya untuk ibadah secara khusuk. Di sisi lain, Islam juga mengajarkan tata cara berdagang yang baik dan tidak diharamkan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, di manakah letak moralitas para pedagang jika pada bulan yang dianggap suci ini, justru berbuat "nakal" dengan memasang target margin keuntungan terlalu tinggi? Apakah mereka sudah lupa dengan aturan dagang dalam ajaran agamnya?

Aturan Dagang dalam Islam

Dalam hukum Islam, pengambilan keuntungan dalam perdagangan memang tidak ada batasan pasti. Artinya, para pedagang bisa dibenarkan mencari keuntungan sebesar 100% atau menaikkan harga dua kali lipat. Tapi perlu dicatat, tidak adanya batasan dalam pengambilan keuntungan itu, bukan berarti pedagang dapat bertindak semaunya sendiri dalam menjalankan perniagaan. Walau ada kebebasan dalam menentukan harga, para pedagang harus tetap memperhatikan prinsip-prinsip perdagangan dalam Islam, yakni; 1. Asas Suka Sama Suka, 2.Tidak Merugikan Orang Lain

1.Prinsip Suka Sama Suka: Setiap perniagaan dilandasi dengan asas suka sama suka. Artinya, perdagangan yang dilakukan secara paksa bisa dianggap tidak sah.  “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’/4:29).

2.Prinsip Tidak Merugikan Orang Lain: Para Ulama` ahli fikih mengharamkan setiap perniagaan yang dapat meresahkan atau merugikan orang lain, terlebih-lebih masyarakat umum baik kerugian dalam urusan agama atau urusan dunia.  “Janganlah engkau saling hasad, saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), saling membenci, saling merencanakan kejelekan, saling melangkahi pembelian sebagian lainnya. Jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidaklah ia menzhalimi saudaranya, tidak pula ia membiarkannya dianiaya orang lain dan tidak layak baginya untuk menghina saudaranya. (HR. Bukhari, no. 5717 dan Muslim, no. 2558)

Trik pedagang serakah yang dinilai melanggar dua prinsip perdagangan dalam Islam antara lain adalah menimbun barang, penipuan, pemalsuan barang.

1.Menimbun Barang: Pedagang yang menimbun barang demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, termasuk diharamkan karena dianggap melanggar dua prinsip dagang dalam Islam. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang menimbun maka ia telah berbuat dosa.” (HR. Muslim, no. 1605)

2.Penipuan: Trik penipuan yang sering terjadi ialah penipuan jumlah barang atau timbangan barang. Trik semacam ini jelas tidak terpuji alias haram. Allah berfirman, yang artinya, “Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang. Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al-Muthaffifin/83:1-3).

Selain penipuan takaran atau timbangan, ada juga yang melakukan kebohongan soal harga dengan harapan mendapatkan penawaran harga yang lebih tinggi.  Trik pemasaran semacam ini tidak selaras dengan syariat Islam. Perhatikanlah hadits ini:

“Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara dan tidak akan dilihat oleh Allah pada hari qiamat yaitu (pertama) orang yang bersumpah atas barang dagangannya, ‘Sungguh tadi ada yang mau beli dengan harga yang lebih mahal’, padahal ia dusta, dan (kedua) orang yang setelah shalat Ashar bersumpah dengan sumpah palsu guna merampas harta seorang muslim, dan (ketiga) orang yang enggan memberikan kelebihan air (yang ada di sumurnya), dan kelak Allah akan berfirman: Pada hari ini Aku akan menghalangimu dari keutamaan/kemurahan-Ku, sebagaimana dahulu engkau telah menghalangi kelebihan sesuatu hal yang bukan dihasilkan oleh kedua tanganmu.”( hadits riwayat Bukhari no. 2240 dan Muslim, no. 108)

3.Pemalsuan Barang: Trik pedagang dalam mengeruk keuntungan kadang ada yang sengaja memanipulasi barang. Barang buruk dicampur dengan yang baik, dan barang bekas dikatakan baru. Ulah seperti ini pasti akan mengecewakan konsumen. Sehingga asas suka sama suka tidak terpenuhi pada perniagaan yang disertai dengan pemalsuan semacam ini.

Ramadhan Harga Stabil Bukan Mimpi

Saya yakin di antara pedagang yang tersebar di tanah air Indonesia ini tidak semuanya nakal. Sebab, tidak sedikit juga pedagang yang masih sanggup berdagang dengan berdasar aturan hukum dan aturan agamanya. Seandainya para pedagang bertindak benar sesuai aturan dagang dalam Islam dan para aparaturnya bertindak sigap sesuai hukum yang ditetapkan, Saya yakin harapan untuk mewujudkan harga kebutuhan pokok yang stabil di masa Ramadhan dan Lebaran bukanlah mimpi belaka. Tapi bila ekspetasi para pedagang tetap dibiarkan liar tanpa kendali dan melanggar ajaran agama Islam, maka kenaikan harga pada masa Ramadhan dan Lebaran, mungkin akan selalu menjadi "hantu" bagi masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan kecil.

[@SutBudiharto]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline