Lihat ke Halaman Asli

Swastika

mahasiswa

Kisah Korban Selamat Erupsi Gunung Marapi yang Bersembunyi di Balik Pohon

Diperbarui: 15 Desember 2023   12:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompas TV


Nama anggota kelompok :
Sutra Mega Swastika (230802023)
Aizha Nabila Putri (230802032)
Nesa Ayunda (230802080)

Gunung Marapi, yang terletak di Sumatera Barat (Sumbar), meletus terakhir pada 3 Desember 2023. Gunung Marapi atau Berapi, yang terletak di antara Kabupaten Agam dan Tanah Datar, telah meletus berulang kali.
Data dari Provinsi Sumatera Barat menunjukkan bahwa Gunung Marapi pertama kali mengeluarkan asap vulkanik pada tahun 1807 silam. Letusan pertama gunung api aktif tipe A di Sumbar tercatat pada tahun 1822. 

Pada Minggu (03/12/2023), Gunung Marapi kembali mengalami erupsi  yang memuntahkan abu setinggi 3.000 meter ke udara. Kejadian letusan di Gunung Marapi tidak disertai tanda apapun bahkan gempa vulkanik pun tidak ada, hal ini yang membuat banyak pihak kaget atas kejadian ini. Saat terjadinya letusan Gunung Marapi sebanyak  75 orang pendaki pada hari tersebut. Selain itu, 21 individu dari pintu masuk Koto Baru, Kabupaten Tanah Datar.

Selain itu, beredar video yang banyak menunjukkan situasi dan kondisi semua pendaki yang saat itu sedang berjuang dalam kondisi ketakutan meminta pertolongan. Salah satunya video yang sedang viral, seorang mahasiswi Politeknik Negeri Padang yang tubuhnya sudah diselimuti abu vulkanik ia meminta pertolongan kepada ibunya melalui pesan whatsapp berupa voice note ia mengatakan "Bu saya udah ga kuat loh bu, badan saya menggigil, kepala saya berdarah,tangan saya patah. Bu tolong cari bantuan".

Sebagai informasi yang diberikan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam, total korban yang ditemukan adalah 75 orang. kata Edi dilansir dari Kompas.com, Rabu (6/12/2023) malam.

Dilansir dari Kompas.com, Rabu (06/12/2023)  Dalam peristiwa tersebut menyebabkan banyak korban jiwa yang berasal dari pendaki Gunung Marapi yaitu sebanyak 23 orang meninggal dunia dan selebihnya yaitu 52 orang pendaki selamat dalam peristiwa tersebut.

 Muhammad Afif bersama dua temannya, Lingga Duta Andrefa (19) dan Muhammad Faith Ewaldo (19), beruntung bisa berhasil selamat dari letusan Gunung Marapi. Menurut cerita dari Muhammad Afif pada  hari Minggu sekitar pukul 11.00 WIB, pendakian mereka dimulai setelah memastikan situasi,kondisi dan cuaca aman. Namun tidak lama setelah memulai pendakian mulai turun hujan gerimis, Afif dan teman-temannya masih berfirasat baik, sebagaimana hal itu sudah biasa terjadi saat melakukan pendakian.

Ia mengatakan, mereka mendaftarkan dari posko via jalur Batu Palano, Kecamatan Sungai Pua. Pada saat di posko mereka mendaftar petugas disana tidak ada memberikan peringatan, dikarenakan ditinjau dari kondisi situasi Marapi dinilai normal dan baik-baik saja.

Rencananya, mereka bertiga hendak mendirikan tenda di daerah Cadas baru esoknya lanjut mendaki ke puncak. Menurutnya, estimasi pendakian hingga turun Kembali yakni dua hari semalam. Namun nahas, di perjalanan, terjadi eruspsi yang baru pertama kali mereka alami. Saat akan sampai di dekat pintu angin Gunung Marapi mengubah semuanya. Sekitar pukul 15.00 WIB, mereka dikejutkan dengan  suara gemuruh semacam suara pesawat tempur dan getaran tana. "Pas erupsi kami masih di track sekitar jam tiga sore kami mendengar seperti suara pesawat kuat bunyinya, suara letusan sama ada goncangan kuat, tak lama setelah itu tiba-tiba  turun hujan batu besar-besar." ungkap Afif. 

Dikarenakan terjadinya hujan batu dan abu yang mengerikan, memaksa mereka untuk segera berlarian kecil untuk melindungi diri mereka disekitar pepohonan. Mereka ketakutan dan panik menyaksikan erupsi selama kira-kira sepuluh menit. Afif mendeskripsikan momen yang menakutkan ketika mereka mencari perlindungan di 'jalan tikus' yang di penuhi pepohonan rindang.  Erupsi Gunung marapi menjadi intropeksi kita akan ketidakpastian alam dan ketidak siapan pendaki yang harus berhadapan dengan situasi dan kondisi ekstrem untuk bertahan hidup. "Waktu hujan batu kami bersembunyi di 'jalan tikus' yang  terdapat banyak  pepohonan. Kami bersembunyi disitu sampai hujan batu mereda, sekitar 10 menit, kami bertiga ketakutan dan panik, "terang Afif". Afif berupaya menenangkan diri dan tidak panik. Beruntung setelah hujan batu, mereka tidak mendapati kejadian erupsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline