Pengalaman ini dapat diambil pelajaran oleh pendaki lain: selalu ikuti jalur resmi, jangan terpancing buat jalur sendiri, kecuali jago navigasi, bawalah peralatan dan logistik memadai.
Oh iya, sangat mungkin para pendaki yang hilang di gunung Singgalang, dan belum diketemukan hingga saat ini, mengalami tersesat seperti saya dan kawan-kawan waktu itu. Bedanya, kami semua selamat.
Hari itu, Sabtu, 18 Juli 1998 saya dan empat orang rekan berangkat dari rumah kosan di Padang selepas Magrib. Naik bus NPM menuju titik awal pendakian gunung Singgalang di pasar Kotobaru, Tanah Datar, Sumatera Barat.
Sampai di Kotobaru sekitar pukul 22 WIB, kami singgah untuk salat di masjid dekat pasar Kotobaru. Setelahnya, kami mulai jalan kaki menuju pintu rimba, dekat tower TVRI.
Udara waktu itu sudah terasa dingin menusuk tulang. Kami berlima berjalan pelan menyusuri jalan aspal buruk berliku dan menanjak. Walau tak membawa beban berarti tapi tetap terasa letih.
Saya sendiri cuma bawa plastik kresek warna hitam berisi kue-kue kering dan sedikit roti buat pengganjal perut selama di perjalanan. Teman-teman lain hampir sama. Tidak ada yang bawa tenda.
Dari awal sudah sepakat pendakian tek-tok. Naik malam, sampai puncak pagi, dan langsung turun dihari yang sama.
Bergidik ngeri bila diingat saat ini. Betapa tidak aman cara kami mendaki waktu itu. Padahal medan trek gunung Singgalang terkenal sangat berat dan panjang. Tapi kami pe-de saja. Itu pengalaman pertama kami mendaki gunung Singgalang.
Sekitar pukul 23.00 WIB kami sampai di tower TVRI. Ada pondok kecil di sana. Di pondok itu kami istirahat sejenak. Gerimis tipis mulai turun.
"Nanti ikuti saja kabel listrik sampai ke puncak, tidak akan tersesat," ujar seorang pria paruh baya, warga lokal, yang kebetulan sedang duduk-duduk di pondok.
Setengah jam setelahnya kami kembali melanjutkan perjalanan. Treknya langsung menanjak tak terkira-kira. Nyaris tegak. Mana licin pula.