Amnesti Baiq Nuril disetujui secara aklamasi oleh Komisi III DPR RI, Rabu, 24 Juli 2019 lalu. Ini tamparan keras bagi dunia peradilan.
Bagaimana dunia hukum terkungkung pada asas legalitas, jadi corong undang-undang, semua demi kepastian hukum, dan gagal menyerap rasa keadilan masyarakat. Pokoknya, asal perbuatan memenuhi unsur pasal, terdakwa langsung dipidana.
Ke depan penegak hukum khususnya hakim harusnya lebih berani menerapkan ajaran "sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif", dimana meskipun suatu perbuatan memenuhi unsur pasal, tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka pelaku perbuatan tidak perlu dipidana. Walaupun penerapannya perlu hati-hati dan selektif.
Dalam kaitan ini, hanya hakim yang dinilai paling pas menggunakan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif tersebut. Sebagaimana dibuka kemungkinannya oleh Pasal 28 Ayat (1) UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, "Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat." Dan juga telah dicontohkan oleh Putusan MA RI No 42K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 dalam perkara dengan terdakwa Machroes Effendi.
Sekalipun kasus Machroes Effendi tersebut merupakan perkara korupsi, namun bisa saja diterapkan dalam tindak pidana lain, dengan penyesuaian seperlunya.
Dalam perkara Machroes Effendi tersebut MA RI telah membuat parameter atau ukuran rasa keadilan sebagai dasar utama untuk menerapkan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif tersebut, yakni: negara tidak dirugikan, kepentingan umum terlayani, dan pelaku tidak mendapat untung.
Sebaliknya, polisi dan jaksa sebaiknya tetap berpegang teguh pada asas legalitas, tidak menggunakan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif tersebut. Hal mana demi mengurangi potensi penyimpangan.
Satu dan lain hal, teknis proses hukum di kepolisian dan kejaksaan bersifat tertutup, dimana tidak setiap orang boleh menonton proses pemeriksaan tersangka, saksi-saksi, dan seterusnya sebagaimana halnya persidangan di pengadilan.
Untuk menyerap rasa keadilan masyarakat, aparat hukum dapat memantau suara masyarakat melalui media massa, tanjuk media massa, minta pendapat dari aktivis terkait, NGO, dan wakil rakyat di DPR/D. Khususnya jika berhadapan dengan kasus khusus yang mendapat sorotan dari masyarakat luas.
Langkah di atas penting, agar tindakan hukum "projustitia" sesuai dengan semangatnya yaitu untuk keadilan dan kemanfaatan hukum, tidak terjebak semata demi kepastian hukum.
Penegakan hukum menjadi tidak ada maknanya, terutama dari sisi manusia sebagai pemakai hukum itu sendiri, apabila hanya mengejar kepastian hukum, tetapi abai asas kemanfaatan dan keadilan.