Siapapun, termasuk aparatur sipil negara (ASN), bisa menjadi subjek hukum ujaran kebencian (hate speech) jika memenuhi unsur pasal pidana maupun administratif. Jika memenuhi unsur pasal pidana bisa berujung sanksi pidana. Jika memenuhi unsur administratif bisa berujung sanksi administratif.
Badan Kepegawaian Negara (BKN) mempertegas sisi administratif dengan mengeluarkan Siaran Pers Nomor 006/RILIS/BKN/V/2018 tanggal 18 Mei 2018 lalu. Dalam rilisnya itu, BKN menyebut ada enam aktivitas ujaran kebencian berkategori pelanggaran disiplin ASN.
Rilis ini bentuk upaya BKN memerangi penyusup radikalis dan penebar ujaran kebencian di internal ASN. Sudah bukan rahasia lagi kalangan ASN dan pegawai BUMN/D sudah marak disusupi paham radikalisme.
Enam aktivitas ujaran kebencian kategori pelanggaran disiplin ASN tersebut meliputi:
- Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis lewat media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
- Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis lewat media sosial yang mengandung ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan golongan;
- Menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian (pada poin 1 dan 2) melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost Instagram dan sejenisnya);
- Mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
- Mengikuti atau menghadiri kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Pemerintah;
- Menanggapi atau mendukung sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana poin 1 dan 2 dengan memberikan likes, dislike, love, retweet, atau comment di media sosial;
Luas sekali kategori ujaran kebencian ASN di media sosial di atas. Dalam rilis tersebut dinyatakan pelanggaran pada poin 1 sampai 4 dijatuhi hukuman disiplin berat dan ASN yang melakukan pelanggaran pada poin 5 dan 6 dijatuhi hukuman disiplin sedang atau ringan. Itu dari segi sanksi administratif yang merupakan kavling tugas BKN.
Bagaimana dengan sanksi pidana. Poin 1 sampai 4 merupakan tindak pidana yang menjadi wilayah tugas penegak hukum untuk menindaknya. Poin 4 dan 5 bisa saja menjadi tindak pidana jika ada peran serta aktif dari pelaku sehingga masuk dalam pasal penyertaan. Sudah banyak contoh ASN ditangkap polisi karena ujaran kebencian di media sosial.
Persoalannya, ujaran kebencian di media sosial berupa status atau pendapat bisa dengan mudah dihapus. Begitu pun tanda like, dislike, love dan retweet sangat mudah membatalkannya. Lantas apa yang dapat dijadikan alat bukti?
Selama ini warganet dengan mudah membuat tangkapan layar (screenshot) untuk bukti. Tangkapan layar ini dapat menjadi alat bukti elektronik berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) UU ITE. Tinggal ditambah satu lagi alat bukti lain agar terpenuhi syarat minimal dua alat bukti. Alat bukti lain itu bisa berupa softcopy, saksi-saksi dan ahli.
Tips sederhana agar laporan mudah diproses kepolisian: kumpulkan dua alat bukti tersebut, sebelum datang melapor ke bagian Reskrim kepolisian setempat atau melapor anonim melalui internet (pesan langsung, email, mention dll).
Di antara semua kategori alat bukti media sosial yang paling mudah diadakan adalah tangkapan layar dan saksi. Setelah discreenshot, ajak minimal dua orang untuk menyaksikan ujaran kebencian di media sosial tersebut. Kelak orang yang menyaksikan tersebut dapat menjadi saksi di kepolisian.
Dengan cara itu, kalaupun status di media sosial yang bermuatan ujaran kebencian dihapus oleh pelaku, pelapor sudah mengantongi dua alat bukti berupa screenshot dan saksi. Jika kurang biarlah kepolisian yang akan mendatangkan ahli IT forensik untuk memperkuat pembuktian, misalnya untuk keterangan ahli terkait pidana yang dilaporkan sekaligus melakukan penelusuran jejak digital (jika postingan dihapus pelaku).