Lihat ke Halaman Asli

Sutomo Paguci

TERVERIFIKASI

Advokat

Jika Diajukan, Inilah Alasan Mengapa Grasi Perkara Ahok Layak Dipertimbangkan

Diperbarui: 2 April 2018   15:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ahok dalam sidang putusan, Selasa (9/5/2017). Foto: Kompas.com/Kristianto Purnomo

Grasi merupakan upaya hukum istimewa atau lebih tepat upaya nonhukum (upaya politik) terpidana dengan memohon pengampunan kepada presiden untuk mengubah pelaksanaan pidana putusan yang telah berkekuatan hukum tetap di semua tingkatan.

Syarat-syarat teknis grasi diatur dalam UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana diubah dengan UU No 5 Tahun 2010 (UU Grasi), yaitu terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pidana mati, seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun.

Prinsipnya, grasi hanya dapat diajukan satu kali saja, kecuali terpidana yang permohonan grasinya pernah ditolak dan telah lewat 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan grasi atau terpidana yang grasinya pernah dikabulkan dari pidana mati menjadi seumur hidup dan telah lewat 2 (dua) tahun dari tanggal pemberian grasi sebelumnya.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 4 Ayat (2) UU Grasi, pemberian grasi oleh presiden dapat berupa: (i) peringanan atau perubahan jenis pidana; (ii) pengurangan lamanya pidana; (iii) penghapusan pelaksanaan pidana.

Peringanan atau perubahan jenis pidana dapat berupa pidana mati diubah menjadi pidana seumur hidup. Pengurangan lamanya pidana berupa mengurangi masa pidana misalnya dari semula 10 tahun menjadi 8 tahun, di sini si terpidana masih tetap harus menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan, hanya saja jumlahnya dikurangi. Pemberian grasi terpidana Antasari Azhar adalah satu contohnya.

Sementara penghapusan pelaksanaan pidana berarti pelaksanaan pidana selanjutnya dari terpidana pemohon grasi dihapuskan sejak tanggal putusan grasi. Dengan demikian si terpidana dibebaskan sejak tanggal pemberian grasi diterima, selanjutnya terpidana dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan.

Untuk sampai pada menerima atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana, presiden melakukannya setelah menerima pertimbangan dari Mahkamah Agung. Dalam kaitan ini, karena sifatnya pertimbangan, presiden bisa mempedomani atau tidak mempedomani pertimbangan Mahkamah Agung. Keputusan menerima atau menolak grasi merupakan hak sepenuhnya presiden.

Menjadi jelas, bahwa sekali pun grasi sifatnya pengampunan yang diberikan presiden, atau dari sisi terpidana berarti permohonan ampunan (berarti pengakuan bersalah), akan tetapi ada "celah hukum" pengajuan permohonan grasi tidak selalu berarti pengakuan bersalah sesuai alur narasi putusan an sich.

Berdasarkan "celah hukum" ini, pada bagian mengingat dan menimbang grasi yang diberikan merujuk pasal yang berbeda dari putusan, dalam kasus Ahok yang semula penodaan agama (vide Pasal 156a huruf a KUHP) menjadi ujaran kebencian terhadap golongan (vide Pasal 156 KUHP) yang gradasi ancaman pidananya lebih ringan. Diakui ini tergolong kontroversial, tapi tidak ada salahnya dicoba sebagai bentuk "terobosan hukum" dalam kasus yang spesifik.

Dalam permohonan demikian, pemohon grasi (terpidana) secara implisit tetap mengakui bersalah, hanya saja pasal yang dikenakan harusnya berbeda. Bila dikilas balik, permohonan maaf Ahok secara terbuka kepada kelompok umat Islam yang merasa tersinggung adalah implisit bahwa pasal yang lebih tepat dikenakan adalah Pasal 156 KUHP.

Mengapa Pasal 156 KUHP, rasionalnya adalah, yang merasa ternodai agamanya hanya sekelompok orang, khususnya masyarakat yang sekubu dengan pelapor, di mana kepada mereka permohonan maaf Ahok dulu ditujukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline