Hari Kamis, 1 Februari 2018, sekitar pukul 10.00, warga sekitar gunung Talang mulai melihat asap putih membumbung dari area puncak. Beberapa saksi mata menuturkan, menjelang siang hingga malam, asap itu makin meluas dan api mulai terlihat jelas dari pemukiman penduduk di sekitar Air Batumbuk.
Kamis malam (atau malam Jumat) puncak gunung Talang nampak membara. Untunglah lewat tengah malam hujan mulai turun. Kebakaran hebat itupun mereda tanpa korban jiwa para pendaki dan warga sekitar. Diperkirakan 20 hektare kawasan puncak sisi timur, tenggara dan selatan habis menghitam dilalap si jago merah.
Satu minggu setelahnya, kawasan gunung Talang ditetapkan dalam status waspada dan semua pintu pendakian ditutup, sehingga baru pada akhir minggu kedua penulis kembali mendaki gunung ini, tepatnya hari Jumat (16/2/2018) sore hingga Minggu (18/2/2018), melalui jalur Seroja Air Batumbuk.
Malam pertama pendakian, penulis memutuskan untuk berkemah di bumi perkemahan cadas gunung Talang, tepatnya di atas bukit menghadap puncak dan danau kembar. Dari sini, puncak terlihat jelas termasuk sisi timur yang menghitam habis terbakar.
Sebenarnya, area puncak gunung Talang baru dalam proses pemulihan dan mulai kembali menghijau, setelah letusan dahsyat tahun 2004 dan 2007 lalu. Gara-gara kebakaran ini, bagian puncak sisi timur, tenggara dan selatan kembali sepenuhnya gundul.
Pada hari kedua pendakian, Sabtu (17/2/2018), penulis memutuskan untuk berkemah di puncak hutan mati, persis berdekatan dengan bekas kawasan yang terbakar. Karena itu, setelah sarapan pagi, penulis melanjutkan treking ke puncak hutan mati.
Pukul 11.00 penulis sampai di puncak hutan mati, mendirikan tenda, makan siang, lalu mulai melanjutkan treking hingga ke puncak utama untuk melihat langsung bekas-bekas kebakaran dua minggu lalu. Dari sini nampak lebih jelas sisa kebakaran itu, pohon-pohon kecil yang baru tumbuh mati mengenaskan, semak-semak habis, tinggal tersisa abu menghitam sejauh mata memandang.
Sekitar pukul 15.00 hujan mulai turun. Penulis memutuskan kembali ke tenda. Beberapa pendaki lain yang sedang muncak bergegas turun kembali ke perkemahan di cadas, sekitar setengah jam berjalan turun dari puncak hutan mati.
Dari penelusuran yang penulis lakukan, tidak ditemukan sisa-sisa penyebab kebakaran tersebut. Dari beberapa warga dan pendaki yang penulis tanyai, ada kecurigaan penyebab kebakaran akibat ulah manusia (pendaki) yang membuat api unggun lalu sisanya ditiup angin dan apinya menyebar dengan cepat. Waktu itu memang musim kemarau dimana angin bertiup dengan cukup kencang.
Hikmah kejadian ini, sangat penting bagi siapapun yang berkegiatan di kawasan hutan dan gunung untuk betul-betul memperhatikan api dan sampah yang diproduksi. Pastikan api unggun ditunggui, benar-benar sudah padam baru boleh ditinggalkan. Hindari membakar daun kering atau sampah yang mudah terbawa tiupan angin.
Jika sudah terbakar seperti ini, diperkirakan butuh waktu puluhan tahun barulah kawasan bisa pulih seperti sedia kala. Mari menikmati alam dengan aman dan menyenangkan.(*)