Banyak kemungkinan pendekatan terhadap pendaki alay, bisa persuasif, membujuk, menyentuh hati dan logikanya, atau membiarkannya menemukan makna seiring waktu. Atau, bisa juga dengan cara-cara "sadis", terutama bila berangkat dari kebebalan, bukan karena keluguan atau murni ketidaktahuan.
"Pendaki Alay" adalah istilah di kalangan pendaki gunung untuk mengambarkan salah satu atau gabungan ciri pendaki yang hanya ikut-ikutan, korban film, mendaki tak aman, suka mencuri edelweiss, gemar nyampah sembarangan, coret bendera negara, pokoknya stereotipe yang buruk-buruk. Umumnya pendaki berusia anak baru gede (ABG), tapi bisa saja pendaki dewasa.
Terus bertoleransi, menuruti alur dan kemauan mereka tentu saja dunia pendakian bakal kacau. Mencegah kelakuan alay dalam dunia pendakian gunung diyakini akan mengurangi dampak buruk perbuatan mereka. Sanksi sosial yang dapat dikenakan bisa macam-macam, dari persuasif sampai "sadis".
Menolak meminjami peralatan. Pernah suatu waktu, di base camp sebuah gunung, salah seorang dari kelompok pendaki berjumlah sekitar lima orang datang pada penulis bermaksud pinjam kompor. Dengan cara halus penulis tolak. Coba, masa lima orang mendaki tak satupun punya persiapan bawa kompor.
Kecuali, jika kompor dibawah, tapi tahu-tahu kompornya macet, rusak, atau hilang. Dalam keadaan darurat begini masih wajar meminjami mereka kompor. Lah, ini memang sengaja tak bawah kompor dari tempat asal, dari lima orang tak satupun bawa kompor, padahal tujuannya ke gunung.
Di gunung pun mereka tak tahu cara atau sekedar berinisiatif membuat api, misalnya buat tungku lalu pakai kayu bakar. Ya sudah, makan saja bahan makanan mentah. Tak bakal mati juga kok.
Menolak membagi logistik. Suatu hari di masa lalu, saat turun gunung dan hampir sampai base camp, serombongan pendaki yang baru memulai pendakian meminta logistik pada penulis. "Minta berasnya pak kalau masih ada sisa," kata salah satu dari mereka, "kami tak cukup punya logistik," ujarnya memberi alasan.
Heran saja sama pendaki model begini. Sudah jelas-jelas baru mau mendaki, tapi tak punya logistik cukup, namun masih nekat mau mendaki, berasumsi bisa minta-minta pada pendaki lain. Mau mendaki gunung atau cari mati?
Berbeda halnya andai sudah sampai di camp ground terakhir atau sudah sampai puncak gunung. Tahu-tahu kehabisan bekal. Dalam kondisi begini sangat wajar sesama pendaki saling tolong menolong memberi bekal logistik semampunya. Ini baru juga mau berangkat sudah minta-minta logistik.
Kelihatan mereka memang sengaja tak bawa logistik dari rumah. Mungkin dikiranya di alam bisa makan batu? Atau mau bergaya bak orang tersesat, lagi survival, cukup makan rumput, makan daun, dst. Iya kalau ada pendaki lain mau memberi, kalau kebetulan sama sekali tak ketemu pendaki lain?
Penulis perhatikan rombongan pendaki tersebut. Tampilannya alay semua, memprihatinkan, dan sama sekali tanpa persiapan, tapi nekat mau naik gunung dengan kondisi alam yang ekstrim. Kelompok pendaki begini mending mundur saja dari rencana pendakian, karena membahayakan diri sendiri dan berpotensi merepotkan orang lain saja.