Belakangan ini sedang tren penangkapan pelaku tindak pidana suap, dari berbagai kalangan, mulai dari lembaga tinggi negara (DPD dan MK), pengadilan (hakim dan panitera), advokat, jaksa, polisi, pengusaha, PNS/ASN dan warga biasa. Yang ditangkap oknumnya ya.
Memberi hadiah atau apapun itu namanya, kepada raja, pejabat kerajaan, negara dan penyelenggara negara, sejatinya sudah menjadi tradisi di banyak negara sejak lama, tidak terkecuali di Indonesia. Seiring naiknya peradaban berhukum, perilaku ini dilarang dan dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi (baca: dikriminalisasi).
Permasalahan di lapangan, di dunia nyata, di kantor-kantor, dalam pelaksanaan tugas, nampak tendensi saling salahkan antara aparat dan warga, tentang siapa yang terlebih dahulu memulai tidak melakukan suap-menyuap: aparat negara atau masyarakat?
Coba, andai Anda berurusan di kantor pengadilan, kejaksaan, kepolisian, pemda, BPN dll. Adalah pemandangan biasa melihat spanduk atau tulisan ditempel di dinding yang intinya memuat pesan: dilarang memberi suap. Lebih ekstrim lagi, bahkan, ada peraturan begini: dilarang bertamu.
Sudah ada himbauan pada masyarakat agar tidak memberi suap, tip, uang terima kasih, uang rokok, uang pelicin, dsb, saat berurusan dengan aparat. Sehingga jika kemudian terbukti sebaliknya, artinya, masih ada suap-menyuap di sebuah instansi maka dengan mudah oknum aparat menyalahkan masyarakat: sudah jelas ada larangan memberi suap, masih memberi suap.
Jadi, masyarakatlah yang harus tahu diri. Jika masyarakat tidak menyuap aparat barulah si aparatnya bisa terbebas dari larangan suap-menyuap. Andai warga masih juga menyuap, maka aparat adalah manusia biasa, tentu rawan tergoda. Jangan salahkan aparat, kan sudah ada himbauan dilarang menyuap.
Ketika terjaring operasi tangkap tangan (OTT), si aparat merasa tidak melakukan korupsi. "Saya tak makan uang negara, tidak makan uang fakir miskin, tidak makan uang bansos dan tidak makan uang rakyat," ujarnya membela diri. Maksudnya, yang namanya korupsi itu berupa makan uang negara, kalau menerima uang dari masyarakat bukan korupsi.
Padahal, si aparatnya tahu betul bahwa memberi atau menerima suap karena jabatan adalah terlarang secara hukum dan merupakan tindak pidana korupsi. Namun pengetahuan ini tidak sejalan dengan kesadaran hukumnya (atau hanya rasionalisasi?).
Mengutip Lawrence M. Friedman (1984), selalu ada kemungkinan kesenjangan antara substansi hukum dengan budaya hukum. Dimana substansi hukum, aturan, norma jelas melarang penyelenggara negara menerima suap dari masyarakat. Akan tetapi, budaya berhukumnya [sikapnya terhadap hukum dan sistem hukum (kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya)] tidak mencerminkan atau berkebalikan dari substansi hukum.
Saat tersudut dan merasa perlu menyalahkan orang lain, maka yang salah adalah masyarakat, mengapa masyarakat menyuap aparat. Dirinya sendiri tidak merasa bersalah, karena tidak mencuri uang negara, uang itu kan dari masyarkat biasa.
Perdebatan begini seumpama mana yang lebih duluan, telur atau ayam? Berputar, melingkar, tak ketemu ujungnya. Terjadi tindak pidana suap karena masyarakat yang gemar menyuap atau karena aparat rentan disuap? Siapa yang harus lebih dahulu menghentikan mata rantai suap-menyuap ini, masyarakat atau aparat duluan?