Ledakan jumlah pendaki gunung di Indonesia mulai sekitar tahun 2013 berdampak sangat serius terhadap ekosistem gunung yang ramai dikunjungi pendaki. Kerusakan yang ditimbulkannya benar-benar mencemaskan.
Hampir semua gunung tercemar sampah, sebagian sumber airnya tercemar tinja manusia, maraknya pencurian edelweiss, dan kerusakan lingkungan akibat penumpukan manusia di satu tempat.
Tahun 1990-an taman edelweiss gunung Marapi, Tanah Datar, Sumatera Barat, masih sangat luas, lebat dan subur. Namun maraknya pencurian edelweiss membuat taman ini terancam punah. Februari 2017 lalu penulis menyaksikan penyusutan jumlah edelweiss yang sangat mengawatirkan.
Pencemaran sumber air di dekat Pos KSDA, Pos 1 dan Pintu Angin, Cadas, oleh sampah dan tinja manusia, membuat gunung Marapi tidak alami lagi seperti dulu.
Beberapa tahun terakhir para pendaki Marapi terpaksa membawa air bersih dari bawah jika mau minum air yang higienis. Bayangkan, air buat memasak saja dibawah treking di medan menanjak selama sekitar 5-7 jam perjalanan.
Alternatif lain, pendaki harus ambil persediaan air bersih di hutan seberang taman edelweiss, setelah puncak Merpati, yang jaraknya sekitar 1 jam perjalanan dari camp ground Cadas. Treknya ekstrim: menanjak, turun ke lembah, lalu kembali menanjak naik ke arah puncak Merpati. Benar-benar menguras tenaga dan beresiko hanya untuk ambil air.
Kebiasaan pendaki Marapi yang membuang sampah sisa makanan di sekitar camp ground akhirnya memancing binatang liar berdatangan ke sana, termasuk babi hutan. Jika ditinggal tak ditutup, tenda bisa diacak-acak celeng.
Permasalahan lebih kurang sama menimpa gunung Talang, di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Gunung yang selalu ramai dikunjungi pendaki, ini, sekarang treknya rusak parah. Kondisi camp ground di Cadas juga sangat kotor oleh sampah. Sumber air juga tercemar oleh sampah sisa makanan, sampah plastik dan tinja manusia.
Taman edelweiss yang dulu nampak banyak dan subur di sekitar Cadas, gunung Talang, lereng Cadas menuju puncak dan sekitar area hutan mati, kini nyaris tak ada lagi. Susah menemukan agak beberapa batang, kalaupun ada edelweiss nampak kerdil meranggas menunggu kematian.
Begitupun di gunung Kerinci. Kondisinya benar-benar mengawatirkan. Sampah menumpuk di mana-mana, mulai dari pintu rimba, Pos 1, Pos 2, Pos 3, Shelter 1, Shelter 2, Shelter 3 hingga puncak Indrapura. Sepanjang jalan juga berceceran sampah.
Kondisi gunung Kerinci ini mirip-mirip gunung Rinjani. Di gunung Rinjani pun sampah menjadi problem utama, di sepanjang jalan, Pos 1, Pos 2, Pos 3 hingga Plawangan Sembalun. Beruntung kondisi Rinjani belakangan ini jauh lebih bersih setelah peraturan benar-benar ditegakkan yang diiringi kesadaran pendaki.
Sampah sisa makanan yang dibiarkan berserakan di sekitar Plawangan Sembalun akhirnya dimakan oleh monyet. Akibatnya, monyet-monyet itu ketergantungan makanan manusia dan ogah makanan alam. Saat pendakian ditutup tiga bulan saja, kondisi monyet-monyet itu nampak kurus kering sangat memprihatinkan.
Belum lagi para pendaki yang buang air besar (BAB) sembarangan di sekitar Plawangan dan trek menuju puncak. Tinja nampak berserakan dan dihinggapi lalat, yang kemudian berterbangan hinggap di mana-mana, termasuk di makanan pendaki.
Di tempat lain, kondisi gunung Semeru kini jauh lebih baik sejak mulai berperannya Sahabat Volunter Semeru (Saver). Brifing yang diberikan oleh Saver pada para pendaki nampak berdampak cukup berarti bagi kebersihan air Ranu Kumbolo. Namun belum berdampak signifikan terhadap kesadaran pendaki membawa turun sampah. Kantong-kantong sampah masih sering ditemui menggunung ditumpuk di sekitar Ranu Kumbolo dan Kalimati.
Kondisi toilet di Ranu Kumbolo juga sangat menjijikan. Sampah berserakan. Tumpukan botol plastik minuman bekas cebok nampak menggunung di depan toilet dan di dalam toilet. Singkatnya, toiletnya jorok dan bau tak terkira-kira.
Sebagian pendaki akhirnya memilih BAB sembarangan di mana saja, khususnya di lereng Tanjakan Cinta dan semak-semak pinggir Ranu Kumbolo. Kadang sedang asyik hunting foto tiba-tiba terinjak pup manusia.
Di gunung Latimojong, Enrekang, Sulawesi Selatan, suatu hari penulis naik ke atas punggungan di seberang sungai Pos 2 untuk BAB dengan menggali tanah. Saat turun kembali kaki malah terinjak pup manusia yang dibiarkan berserakan di tepi sungai dekat camp ground.
Sebenarnya tidak susah untuk menggali tanah, BAB di lobangnya, lalu ditutup kembali dengan tanah yang sama. Cara boker begini jauh lebih rapi, sehat dan menyuburkan tanah. Sayang cara BAB demikian belum teredukasi dengan baik di kalangan pendaki, kalah sama cara boker kucing.
Beberapa gunung memang nampak bersih. Tapi umumnya karena masih jarang dikunjungi pendaki dan itupun sebagian karena ketatnya peraturan. Jika pendakian sudah ramai barangkali akan lain ceritanya.