Dengan status gunung berapi berketinggian 3.805 meter di atas permukaan laut, gunung Kerinci menjadi gunung berapi tertinggi di Indonesia dan Asia Tenggara. Secara keseluruhan, indah dan tinggi menjulang. Tak heran gunung ini menjadi tujuan penting para pendaki dalam negeri maupun manca negara.
Sayangnya, gunung ini dari hari ke hari makin banyak sampah. Sampah menggunung di tiap titik tertentu, mulai pintu rimba, Pos 1, Pos 2, Pos 3, Shelter 1, Shelter 2, Shelter 3 dan bahkan hingga di puncak tertingginya. Bukan itu saja, sepanjang perjalanan berceceran sampah seolah menjadi "rambu" penunjuk jalan.
Setelah mendaftar di pos pendaftaran yang dikenal dengan "Pos R10", para pendaki akan berjalan kaki menuju pintu rimba. Di pintu rimba ini telah menjadi ritual wajib untuk berfoto. Sebelum mulai berjalan, para pendaki akan berdoa terlebih dahulu. Ironisnya, foto-foto dan tempat berdoa ini justru diwarnai sampah. Begitu seterusnya hingga puncak.
Kebanyakan sampah yang ditemui didominasi sampah plastik, yang nota bene sangat ringan untuk dibawah turun kembali, jauh lebih ringan dibandingkan waktu masih berisi saat dibawa naik. Sisanya ada kertas, kain bekas, kaleng, botol, kaca beling dan styrofoam mie gelas, dll.
Tahukan Anda, berapa lama sampah-sampah tersebut bisa terurai secara alami di alam? Kertas butuh 2-5 tahun. Kain bekas 1-5 tahun. Kaleng 100-200 tahun. Botol plastik 450 tahun. Kantong plastik 500-1.000 tahun. Kaca beling 1 juta tahun! Styrofoam bahkan tak bisa terurai atau abadi!
Penulis memperkirakan jumlah keseluruhan sampah di gunung Kerinci mendekati angka 500 kg s/d 1 ton. Ini meliputi semua sampah di jalan, tepi-tepi jalan pada semak-semak, tiap pos (pos 1 s/d 3), tiap shelter (shelter 1 s/d 3) hingga puncak.
Karena banyaknya sampah, butuh gerakan bersama pendaki untuk membersihkan sampah dari puncak hingga pintu rimba. Jika saja tiap pendaki sukarela membawa 1-5 kg sampah maka diyakini gunung ini akan bersih dari sampah dalam waktu sekitar tiga bulan. Aksi sporadis sapu bersih gunung pada momen tertentu seperti 17 Agustus, Tahun Baru dll juga sangat berpengaruh.
Akan tetapi, tanpa edukasi dan advokasi berkelanjutan pada para pendaki, maka sampah akan kembali bertebaran seperti semula. Edukasi menjadi sangat penting. Sangat baik bila petugas pos pendaftaran untuk tidak bosan mengingatkan pada tiap pendaki untuk membawa kantong plastik tempat sampah untuk dibawa turun. Tidak hanya pada ketua rombongan, tetapi diingatkan pada satu per satu pendaki.
Pendaki dari penduduk lokal yang baru pertama mendaki dan pendaki remaja adalah sasaran utama untuk diedukasi soal sampah, cara buang air besar di alam, keselamatan dll.
Sepengamatan penulis, jadi bukan sebuah generalisasi, yang suka membuang sampah sembarangan adalah pendaki dari penduduk lokal yang sesekali mendaki dan para pendaki remaja tanggung. Pendaki senior atau pendaki serius dari luar daerah justru sudah paham cara memperlakukan sampah di gunung.
Hal unik yang penulis biasa temui, penduduk lokal dan remaja tanggung yang suka bertanya 'seperti apa dan di mana bunga edelweiss bisa dipetik?' (dengan bahasa tubuh sedang mencari-cari), adalah orang yang sekaligus suka buang sampah sembarangan.