Kata "Islamis" dalam artikel saya berjudul "Mana Ada Islamis Dukung Jokowi" pada intinya bermakna, gerakan politik yang menjadikan islam sebagai ideologi dengan tujuan syariatisasi-total negara dalam pengertian formal dan pendirian negara islam atau khilafah. Pahamnya sering pula disebut "Islamisme".
Suatu kebetulan artikel saya di atas mendapat tanggapan luar biasa baik pro maupun kontra. Dua diantara pihak yang kontra dan menulis artikel adalah Sdr Erri Subakti dan Teguh Suprayogi. Erri Subakti menulis dengan tergesa-gesa artikel berjudul "Saya Islam Maka Saya Islamis Saya Mendukung Jokowi". Sementara Teguh Suprayogi menulis artikel yang tak kalah tergesa-gesa dan sumir berjudul "Saya Islamis, Dukung Jokowi, Masalah Buat Loe".
Intinya, Sdr Erri dan Teguh mengatakan dirinya Islamis. Namun sayang sekali tanpa argumen yang memadai. Yang nampak justru tulisan impulsif tergesa-gesa tanpa dasar argumen yang meyakinkan. Hanya ngaku-ngaku Islamis tanpa alasan yang logis, tentu dalam konteks politik sesuai jenis artikel yang saya luncurkan di atas.
Padahal, pengertian Islamis yang saya maksud tersebut tak lain tak bukan disarikan dari berbagai literatur politik. Sebut saja karya Jamaludin Al-Afghani (1838 – 1897), buku berjudul The Islamist karya Ed Husain, Oxford Encyclopedia of the Islamic World, dan Encyclopedia of Religion, dll.
Karena itu, kata "Islamis" sangat familiar bagi penikmat kajian politik. Apalagi sejak terjadinya konflik Mesir, pasca tergulingnya Presiden Mesir M Morsi, kata "Islamis" semakin sering sekali terdengar ditahbiskan pada Ikhwanul Muslimin. Selain IM, cap Isalmis juga biasa dilekatkan pada Alqaida, Jamaah Islamiyah, Hizbut Tahrir, dll.
Suatu kesengajaan bahwa arti "Islamis" dalam artikel saya di atas tidak diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sebab menurut penulis kata "Islamis" dalam KBBI tersebut kurang lengkap, kurang akurat, dan belum update dengan referensi politik yang ada. Makanya tidak penulis rujuk.
Menurut KBBI, Edisi Ketiga, Cet 2, 2002, halaman 444, kata "Islamis" merupakan adjektiva---kata yang menjelaskan nomina atau pronomina---yangberarti "bersifat islam". Dalam hubungan ini, pengertian demikian bisa saja digunakan dalam konteks tata bahasa. Sekali lagi, hanya dalam konteks tata bahasa.
Akan janggal apabila kata "Islamis" demikian digunakan untuk konteks politik pergerakan atas nama agama yang hendak mendirikan negara islam dan syariatisasi negara baik dengan cara-cara kekerasan maupun mendompleng demokrasi. Karena mereka jelas-jelas tidaklah bersifat Islam, setidaknya menurut mainstream.
Islam yang dipahami oleh gerakan islam kultural seperti NU dan Muhammadiyah, misalnya, sama sekali menolak konsep negara islam dan syariatisasi negara. Pasalnya, tak pernah ada perintah Allah dan Rasul yang dengan tegas (exsplicit) untuk mendirikan negara islam dalam pengertian formal.
Makanya di negara-negara manapun di dunia ini, termasuk di Arab Saudi dan Timteng lainnya, gerakan politik para Islamis akan dimusuhi, dikejar, pemimpinnya ditangkap dan dipenjara, dan organisasinya dinyatakan illegal.
Di paragraf atas penulis sebut Islamis 'mendompleng demokrasi'. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kaum Islamis pada dasarnya tidak menyetujui konsep demokrasi kreasi manusia tersebut, yang dicapnya "thogut" dan produk kafir. Namun kalkulasi rasional tidak memungkinkan untuk menghilangkan dan mengganti sistem demokrasi dengan sistem "islam" versi mereka yang sama sekali baru. Maka, digunakanlah demokrasi prosedural untuk mencapai tujuan syariatisasi negara atau negara islam/khilafah.